Rabu, 25 Januari 2012

Surat Pink

Sudah sekitar satu jam perempuan itu berkeliling hanya untuk mencari amplop berwarna pink. Entahlah, mungkin dia sedang jatuh cinta, atau paling tidak orang yang dituju dalam surat adalah orang yang dicintainya. Bukankah warna itu menggambarkan cinta? Ah.. Mungkin disini tidak ada lagi yang memiliki cinta, pikirnya. Atau mungkin cinta telah luntur terkena hujan pagi tadi. Bahkan mungkin cinta telah bosan sehingga mati bunuh diri.

***

"Bu.. Bapak dimana sih, kok nggak pernah pulang?". Pertanyaan Galih membuat Iren terhenyak.

"Bapakmu merantau nak, berdoa saja mudah mudahan bisa cepat ketemu sama Bapak..". Jawabnya

"Merantau kemana?".

"Sudah.. Mudah mudahan Bapak cepat pulang ya nak?".

"Kapan Bu? Memang Bapak lupa sama Galih ya?". Tak terasa air mata Iren menetes perlahan mendengar pertanyaan Galih untuk kesekian kalinya. Pertanyaan yang membuatnya bingung mencari jawaban.

Iren punya mimpi, pergi dari kampung. Bukan hal besar memang, tapi bukankah dari hal kecil sesuatu yang besar terwujud? Yah.. Setidaknya di kota tidak ada yang tahu kalau suaminya selingkuh dengan sinden kampung lalu pergi entah kemana. Setidaknya juga di kota dia bisa membelikan Galih kelereng yang banyak, hal yang sulit dilakukannya di kampung. Dan masih banyak lagi harapannya pada kota.

"Mudah mudahan Ibu bisa menyekolahkan kamu sampai SMA ya nak?". Ucapnya kemudian. Tidak muluk muluk memang, karena menurutnya tidak perlu gelar sarjana untuk menjadi seorang pejuang. Ya, berjuang untuk bertahan hidup. Berjuang melawan sedikit ketertinggalan modernisasi.

Sudah lama sebenarnya Iren berkeinginan merantau ke Jakarta, tapi Bude, kakak perempuan dari Ayahnya selalu melarang.

"Disini saja nduk.. Toh belum tentu di Jakarta kamu bisa kerja, memangnya disana kamu punya kenalan? Nggak to?". Itu saja yang selalu dikatakan Bude, sosok pengganti seorang ibu baginya, sejak kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Tapi baginya hidup adalah pilihan, dan hidup terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang salah. Merantau ke Jakarta adalah pilihan yang tepat, pikirnya.

***

Angin bertiup perlahan dari pinggir kampung. Suara riak air sungai kecil laksana kidung. Seekor belalang bercanda mesra dengan pucuk daun. Hari yang cerah. Anak anak berlari kecil di pematang, mencari pemenang adu layang layang.

"Alhamdulillah..". Ucap syukur Iren setelah mendapat upah Rp 7.500 dari menyiangi sawah kepala desa. Hasil yang tidak seberapa memang, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selain mencari kayu bakar di hutan atau membantu pekerjaan rumah salah seorang tetangga. Profesi mayoritas penduduk dimana Iren tinggal memang bertani, maka tidak heran kalau Iren sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut.

"Ren.. Kang Somad bilang suamimu di Jakarta, dia nggak sengaja ketemu di stasiun Jatinegara". Seru Mas Jarwo, anak tertua Bude yang tiba tiba muncul.

"Ah, yang benar Mas?". Tanya Iren ragu.

"Lo kalau nggak percaya tanya sendiri sama Kang Somad yang baru pulang dari Jakarta". Jawab Mas Jarwo meyakinkan.

"Kang Somadnya sekarang di rumah Mas?".

"Ya di rumah, coba tanya sendiri kalau nggak percaya!".

Entah senang atau apa Iren mendengar kabar tentang keberadaan suaminya. Yang jelas dia hanya ingin Galih mempunyai sosok seorang ayah. Dia tidak ingin Galih berakhir hidup di jalanan, seperti kebanyakan anak anak yang tumbuh dari keluarga berantakan.

"Iya.. Saya lihat suamimu, tapi dia sendirian kok, nggak sama si sinden genit itu". Kata Kang Somad menjawab pertanyaan Iren setelah mereka bertemu.

"Terus kalau saya mau ketemu gimana caranya Kang?".

"Ya nggak tahu, saya cuma lihat di stasiun kok".

"Belum sempat ngobrol to?".

"Belum.. mau ngobrol gimana tahu tahu keretanya datang, ya saya langsung naik. Dia saja nggak sempat lihat saya".

Semakin mantap keinginan Iren untuk pergi ke Jakarta. Paling tidak untuk beberapa alasan selain mencari pekerjaan, yaitu bertemu suaminya. Untuk Galih. Untuk masa depan Galih.

***

Sudah sejak semalam Iren mengemasi barangnya yang hendak dibawa ke Jakarta. Tidak banyak memang, cuma beberapa pasang pakaian dan bekal ala kadarnya.

"Di Jakarta kamu mau tinggal sama siapa? Mau kerja apa? Jaman sekarang cari kerjaan susah lo, Mas Pri saja yang sarjana sampai sekarang masih nganggur". Lagi lagi Bude mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.

"Ya berdoa sambil berusaha Bude, mudah mudahan cepat dapat kerjaan".

"Nggak semudah yang kamu bayangkan, ada yang berhasil tapi banyak juga yang nggak berhasil".

"Tapi kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu berhasil apa nggak kan Bude?".

"Atau kamu mau cari suamimu?". Kata Bude lagi.

"Ya mudah mudahan bisa ketemu juga Bude, kasihan Galih".

Sungguh berat rasanya meninggalkan Galih, tapi dia harus, karena ini juga demi Galih. Bukankah di Jakarta Banyak uang? Bukankah disana banyak pekerjaan? Bukankah setelah sukses disana dia bisa memboyong Galih ikut dengannya? Memang Jakarta menyisakan mimpi bagi banyak orang seperti Iren.

"Ya sudah.. Kalau memang kamu sudah yakin ya nggak apa apa, Bude cuma bisa mendoakan mudah mudahan kamu bisa berhasil di Jakarta seperti Kang Somad".

"Iya Bude, terima kasih.. Saya titip Galih ya Bude..". Kata Iren kemudian.

Tiket sudah dibelikan Mas Jarwo, kereta ekonomi Purbaya jurusan Surabaya-Jakarta. Iren berencana turun di stasiun Jatinegara berharap bisa melihat suaminya disana seperti Kang Somad. Entahlah, ini baru pertama kalinya dia ke Jakarta dan tidak ada keluarga maupun sanak saudara yang dituju. Tapi niatnya sudah bulat.

***

"Galih.. Ini kamu dapat surat dari Ibumu". Terdengar suara Bude memanggil Galih.

Ini adalah surat pertama Iren semenjak kepergiannya setahun yang lalu. Selain itu dia hanya beberapa kali mengirim uang yang jumlahnya pun tidak seberapa. Kebahagiaan Galih tak terbendung, matanya berkaca-kaca ketika membaca surat dari Ibunya. Surat dengan amplop berwarna pink.
______________________

-Buat Galih sayang:

Nak.. Bagaimana kabarmu? Mudah mudahan baik baik saja ya.. Maaf Ibu belum bisa pulang. Dibantu doanya ya nak supaya Ibu dapat rejeki, terus bisa pulang dan beli baju baru buat Galih. Oh iya, nanti Ibu belikan kelereng juga ya.. Masih suka main kelerang di depan rumah kan? Hehe.. Bagaimana juga kabar teman-temanmu? Andi, Gion, Joko, Krimbil..

Nak.. Ternyata berjuang itu tidak mudah, kadang kita harus berkali kali jatuh. Tapi itulah perjuangan, karena disaat kita jatuh itulah kita harus bersyukur karena Allah sedang memberi peringatan agar kita terus dekat denganNya. Shalatnya dijaga ya nak, mudah mudahan dengan itu Allah selalu memberi kemudahan.

Sekali lagi Ibu minta maaf karena belum bisa membahagiakan Galih, tapi sebaliknya Galih selalu bisa membuat Ibu bahagia. Karena satu-satunya hal yang bisa membuat Ibu bahagia saat ini adalah ketika mengingat bahwa Ibu mempunyai anak bernama Galih. Ibu sayang sama Galih, Ibu kangen. Kadang Ibu nangis lo kalau ingat Galih. Nggak apa-apa kan?

Sudah dulu ya nak.. Nggak perlu mikirin Ibu. Ibumu disini baik baik saja. Galih yang yang rajin belajarnya. Sekali lagi jangan lupa dijaga shalat lima waktunya..

-Dari Ibu yang selalu sayang sama Galih.
______________________

***

Suara bising ribut kereta api berlalu lalang. Ratusan manusia berjubel menunggu antrian. Jatinegara, demikian tulisan yang ada di atas pintu masuk stasiun. Sementara itu, di pinggir rel tidak jauh dari stasiun, seorang ibu tampak berjalan terseok satu-satu. Mencari sisa rongsokan dengan menenteng karung lusuh. Tubuhnya kurus. Ada cacar di mukanya.

Perempuan yang hidup dari sisa. Sisa makan, minum, dan kadang sisa dosa dari botol bir para berandal yang kemudian diambilnya untuk dijual. Perempuan yang seolah seluruh hidupnya telah dilalui dengan perjuangan. Untuk dirinya, atau mungkin juga untuk orang yang dicintainya. Iren nama permpuan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar