Kamis, 01 Desember 2011

WARAKA

 Gambar diambil dari sini


Di kampungku, bunga-bunga terbuat dari mutiara dengan kelopak jingga, air comberan berupa susu dan madu, dan pohon tebu-tebu adalah emas berbentuk menara. Lalu jalan setapak yang dilalui domba-domba berupa kasur, sofa, dan hamparan biji kurma. Sedangkan rumah-rumah di sela pegunungan kabut terbuat dari anyaman roti dengan atap kayu cendana berwarna merah muda.

Kami makan dari tumbuhan madu yang berada di atas punggung pegunungan kabut, yang diambil oleh capung dan kupu-kupu kemudian dibagikan kepada seluruh warga desa. Setiap senja anak-anak harimau dan serigala juga menemani kami memancing, merawat padi, dan ikut bermain bola dan layang-layang ikan.

Hal itu belum lama memang, tepatnya semenjak kedatangan Dewi Cendana dari negeri di atas awan, yang kemudian turun ke bumi karena jatuh cinta kepada salah satu pemuda desa kami. Sebut saja Waraka,
demikian namanya. Seorang anak gembala yang tinggal di ujung desa di kaki pegunungan. Pemuda yang seluruh hidupnya digunakan untuk merawat domba-domba.

Kedatangan Dewi Cendana pertama kalinya disambut oleh iring-iringan burung camar yang membawa pita dan salju kapas dengan aroma bunga-bunga. Membuat seluruh daerah di desa kami terang benderang dan harum semerbak dalam seketika. Kejadian itu kurang lebih setahun yang lalu, saat Waraka menggembala domba-domba.

Dewi Cendana sendiri adalah seorang wanita berparas cantik jelita, seolah kecantikan para dewi digabungkan menjadi satu dan lebur ke dalam wajahnya. Dan tidak ada pula pemuda yang bergeming ketika menatapnya. Tapi entahlah, hingga kini Waraka belum menerima cinta Dewi Cendana. Cinta dari dewi yang cantik jelita dari negeri di atas awan.

Dan.. Sebentar lagi semua yang ada di desa kami akan hilang begitu saja jika Dewi Cendana belum mendapatkan cinta Waraka. Karena tujuh hari lagi tepat sudah satu tahun Dewi Cendana berada di desa kami, batas waktu yang diberikan oleh raja negeri di atas awan kepadanya untuk mendapatkan cinta Waraka, pemuda penggembala domba-domba.

***

Hari ini, para pemuda desa datang kepada Waraka untuk membujuknya agar mau menerima cinta Dewi Cendana, agar semua kenikmatan yang ada di desa kami tidak hilang seiring kepergian Dewi Cendana. Dewi Cendana sendiri terus menangis akhir-akhir ini, mengharap cinta Waraka, pemuda penggembala domba-domba.

"Aku hanya mencintai domba-domba". Kata Waraka menjawab bujukan warga desa. Aneh memang, Dewi Cendana yang cantik jelita belum mampu menaklukkan hati Waraka, belum mampu membuat Waraka bergeming semenjak setahun yang lalu.

Warga mulai panik, tak mampu membayangkan seandainya Dewi Cendana benar-benar kembali ke negeri di atas awan tanpa Waraka dan cintanya, yang membuat semua kenikmatan yang ada di desa kami hilang begitu saja. Pita, bunga-bunga, dan juga hamparan biji kurma. Belum lagi anak-anak harimau dan serigala yang selalu menemani kami memancing, bermain bola dan layang-layang ikan.

"Bukankah setelah menikahi Dewi Cendana kamu akan ikut dibawanya ke negeri di atas awan, yang di dalamnya penuh dengan bermacam-macam kenikmatan?". Kata warga desa, seolah tak mengerti dengan jalan pikiran Waraka.

"Justru itu, saya tidak mau meninggalkan domba-domba. Saya mencintai Dewi Cendana, tapi saya lebih mencintai domba-domba". Jawab Waraka, sembari mengikat rumput-rumput yang baru saja diambilnya di kaki pegunungan kabut.

"Lalu sampai kapan kamu mau bersama domba-domba? Apa hebatnya dibandingkan dengan kenikmatan negeri di atas awan dan seorang Dewi Cendana yang cantik jelita?". Kata warga desa yang tampak mulai tidak sabar dengan tingkah laku Waraka yang belum juga mau menerima cinta Dewi Cendana. Waraka hanya diam begitu saja, lalu pergi bersama domba-domba melewati hamparan biji kurma.

***

Pagi hampir tiba. Kepanikan warga desa semakin menjadi-jadi. Beberapa saat lagi adalah batas waktu yang diberikan raja negeri di atas awan kepada Dewi Cendana untuk mendapatkan Waraka dan cintanya. Mereka akhirnya bermusyawarah.

"Kita paksa saja Waraka". Seru salah satu pemuda desa.

"Betul..!! Kalau dia tidak mau kita bunuh saja". Sahut yang lain.

Lalu warga desa kembali menemui Waraka untuk memaksanya agar mau menerima cinta Dewi Cendana. Mereka datang dengan membawa anak harimau dan serigala, juga diiringi oleh gerombolan burung garuda pemakan domba-domba.

Dewi Cendana masih menangis tersedu-sedu menunggu keputusan Waraka. Dia hanya menunggu dalam kamar di dalam istananya yang berbentuk piramida berwarna merah jingga. Ditemani dewi-dewi dari negeri di atas awan, yang datang untuk menghibur Dewi Cendana.

"Saya mencintai Dewi Cendana, tapi saya lebih mencintai domba-domba". Kata Waraka lagi menjawab tuntutan warga desa, setelah mereka menemuinya sedang bersama domba-domba. Dalam rumahnya di kaki pegunungan kabut.

Waktu tidak lama lagi, sang mentari mulai menampakkan semburat merahnya, detik-detik menjelang batas waktu yang diberikan raja negeri di atas awan kepada Dewi Cendana untuk mendapatkan cinta Waraka, pemuda penggembala domba-domba. 

Tiba-tiba saja seekor tikus menjatuhkan piring dalam rumah Waraka.

Prang..! 

Dan aku, Waraka. Hanya mampu bergumam dalam hati sembari cuci muka, "Tikus sialan, gara-gara kamu nih, belum sampai ending sudah bangun.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar