Jumat, 25 November 2011

John Sugiyanto

Gambar diambil dari sini


Aku merupakan bungsu dari tujuh bersaudara. Semua kakakku telah disembelih. Sebuah kematian dengan cara terhormat versi bangsa kami, konyol dan tragis menurutku. Aku sendiri selamat karena umur yang masih terlalu muda pada saat Pak Ahmad, pemilikku menggelar acara syukuran beberapa bulan yang lalu. Menjadikan kakak-kakakku sebagai hidangan utama. Sate ayam.

John Sugiyanto. Nama yang diberikan Pak Ahmad padaku. John, diambil dari nama petinju favoritnya, Chris John. Dan Sugiyanto diambil dari nama belakang anak bungsunya. Ayahku berasal dari keturunan ayam kampung, begitu pula Ibu. Dan menurut informasi yang kudapatkan dari sumber yang dapat dipercaya, mereka meninggal terkena flu burung, demikian manusia menyebutnya, sebuah penyakit aneh yang tiba-tiba menyerang.

"Kukuruyuuk..". Kukepakkan sayap lalu menepukkannya ke dada, berusaha mencari perhatian Putri. Dia hanya tersenyum. Manis sekali, semanis cairan yang diproduksi milyaran lebah dari seluruh muka bumi. Ya, Putri.

Kamis, 24 November 2011

Sahabat

 Gambar diambil dari sini


Anak tupai berada di meja kaca
Camar tersenyum kecut di balik awan lalu rindu sauh nelayan

Kita payah karena dongengmu tentang negeri treyka
Gemuruhnya rolling stone di kaset pita

Sahabat..
Dengar sejenak kidung belalang di pucuk daun, suara riak air sungai kecil di ujung kampung
Pandang sebentar foto kita dalam lemari kayu, dengan bingkai jingga aroma cempaka

Dan..
Aku masih menunggumu sembari membuka tirai di sudut pintu
Kita lewati senja dengan madu dan biji kurma
Lalu kita bicara tentang kita, bukan tentang aku dan kamu.

GUDANG SENJATA

Ini jalanan Bung!
Bukan hotel, gedung, plaza, dan bandara
Hanya asap knalpot dan keringat bejat bau cuka
Berserak botol arak berandal kota.

Ini kejam Bung!
Di tong sampah ada bayi
Mayat di gerbong kereta pagi
Korban nafsu yang enyahkan harga diri

Dan kita Bung..
Sekarat dihimpit hotel, gedung, plaza, dan bandara
Karena cinta telah mati bunuh diri.

Selasa, 15 November 2011

ORANG-ORANG JALANAN

Kami yang bernafas dari sikut licik tak perduli
Menyulam trotoar belantara kini
Di antara tumpukan kardus dan ikan teri

Kami yang sembunyi di ketiak para kurcaci
Lelap dihimpit bus way dan metro mini
Karena bestari tidak disini

Kami yang berdiri tanpa panji-panji
: Menunggu mati.

Rabu, 02 November 2011

Cerpen : Sepak Terjang Tarjo

"Jo.. Cepet cari istri to.. Bapakmu ini sudah kebelet kepingin punya cucu".

"Bapak ini ngomongnya mbok jangan itu terus to..!".

"Lo wajar to Jo. Umurmu sudah kepala tiga lo? Ndak perlu cantik cantik, yang penting bisa masak, nyuci, bikin kopi tubruk, ndak cerewet. Sukur sukur hidungnya mancung, tidak ya ndak apa apa, yang penting ndak jerawatan".

"Opo to Bapak iki?"

"Seperti Ibumu itu lo Jo, sederhana tapi bersahaja".

Kalau mau jujur, Tarjo pun tak tahan dengan kesendirian. Hmm.. Lagi lagi ingatannya tertuju pada Maesaroh, mantan pacar terakhirnya. Kulit sawo matang, rambut keriting sebahu, wajah pun cukup manis untuk seukuran perempuan desa. Tapi apa boleh buat, orang tua Maesaroh tidak setuju. "cari menantu itu ya harus dilihat bebet, bibit, bobot". Kata mereka. Alasan klasik, pikir Tarjo.

Penggali sumur memang bukan profesi menjanjikan, tapi Tarjo bangga dengan itu. Butuh keberanian dan skill tinggi. Perlu pria berotot kawat tulang besi. Profesi lelaki, dalihnya ketika beberapa teman menyarankannya untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Tak seberapa memang penghasilannya, tapi dia menganggap perempuan suka dengan lelaki dengan pekerjaan lelaki. Selalu berkeringat dan berbadan kekar.

Tapi tak apa, kisah cintanya dengan Maesaroh akan dibuang kedalam sumur yang digalinya.  Karena kali ini dia sedang jatuh cinta, lagi. Siti, demikian nama perempuan itu. baru datang seminggu yang lalu setelah dua tahun mengadu nasib di malaysia. 

"Wajah cukup lumayan, dapat poin enam, banyak orang bilang aku mabuk kepayang.. Kuuu.. Suka kamu, sungguuh suka kamu..". Ah.. Teringat Tarjo pada sebait lagu jadul.

   ***

Satu kampung gempar.

"Pakde Pakde.. Si Tarjo beli bebe".

"Sejenis opo to kuwi?".

"Blekberi Pakde, henpon keluaran baru. Belinya pesan di Jakarta".

"Terus apa hebatnya si bebe itu?".

"Ah Pakde ini katrok. Makanya nonton tipi, Agnes Monica aja punya".

Nama Tarjo kali ini melejit. Semua mulut membicarakan lelaki yang telah berubah menjadi manusia modern ini, bukan Tarjo yang dulu lagi. Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menarik perhatian Siti tentunya. Tak mau lagi cari rumput, nimba air, dan juga gali sumur yang biasa dilakukan sebagai mata pencahariannya.

"Terus kamu mau kerja apa Jo?". Tanya Bapaknya ketika Tarjo sedang asyik dengan Blackberry barunya itu.

"Saya mau nyupir angkot Pak, biar ndak belepotan lumpur". Jawabnya, menunjukkan cara pandang terhadap profesi lamanya yang telah berubah.

"La memangnya kamu bisa nyupir?". 

"Ya kan kursus Pakne".

"Opo maneh kuwi kursus? Temannya bebe po?".

"Kursus itu latihan Pak. Jaman sekarang sudah maju. Jangankan kursus nyupir, kursus bahasa luar negeri juga ada".

"Kamu ini Jo.. Jadi orang itu yang nrimo, ndak usah neko neko. Sampai jual kambing segala buat beli.. Opo kuwi? Bebe?".

Walaupun Tarjo belum mengungkapkan perasaannya, tapi Siti telah mengubah banyak hal pada diri Tarjo. Rambut gondrong telah dicukur, kumis tipis dipangkas habis, Hmm.. Nampaknya dia akan berhasil kali ini. 

Kalau boleh dihitung-hitung, mungkin perlu bantuan jari kaki untuk menghitung berapa kali Tarjo mengalami putus-sambung dalam menjalin hubungan percintaan. Entahlah, seakan dia mempunyai daya tarik tersendiri bagi gadis desa. Mungkin benar juga anggapannya bahwa banyak perempuan yang suka dengan lelaki berbadan kekar.

Tapi untuk kali ini dia berencana menjadikan Siti sebagai petualangan cinta terakhirnya. Dan sepertinya perlu kerja keras untuk itu. Karena jelas saja orang tua Siti tidak akan setuju seperti orang tua gadis-gadis yang dilamarnya dulu selama Tarjo masih jadi penggali sumur.

   *** 

Sepasang anak Tupai bercengkrama dengan ranting yang malas, lalu mengabarkan keindahan pagi pada Burung Gelatik yang berbisik: "hari ini cerah, secerah hati Tarjo".

"Dek Siti, Mas mau ngomong..". Kali ini Tarjo merasa telah mendapatkan momen yang tepat setelah sukses mendapat profesi baru yang diidam idamkannya. Sopir angkot.

"Ngomong apa to Mas?".

"Sebenarnya.. Ah.. Harus mulai dari mana ya?".

"Ya Mas Tarjo mau ngomong apa? Ngomong saja..". 

"Mmm.. Sebenarnya Mas sudah lama suka sama Dek Siti. Kalau bersedia, Mas mau melamar Dek Siti". Lega rasanya Tarjo bisa mengungkapkan perasaannya. Tidak tanggung tanggung, hendak dilamar pula Siti.

"Gimana ya mas? Mm.. Kalau Mas Tarjo memang serius, ya monggo..!". Jawab Siti tersipu.

"Serius Dek?".

"Iya.. Silahkan ngomong dulu ke Bapak!".
 
Girang bukan kepalang Tarjo mendengar jawaban itu. Petualangan cintaku akan berakhir, pikirnya. Tanpa pikir panjang, malamnya Tarjo sekeluarga bertandang ke rumah Siti untuk mengajukan lamaran.

"Saya janji akan buat pesta yang meriah Pak". Ucapnya pada orang tua Siti setelah lamaran disetujui.

"Ndak perlu Jo, syukuran kecil-kecilan saja".

"Ndak Pak, pokoknya acaranya akan saya buat ramai, kalau perlu satu kecamatan diundang". Ucapnya menggebu-gebu.

Ini masalah harga diri dan gengsi bagi Tarjo. Entah dari mana uang untuk pesta nanti, yang paling penting dia mencintai Siti, dan dia akan membelinya dengan harga tinggi.

   ***

Semua undangan telah datang, satu jam lagi resepsi dimulai. Dengan orkes musik dangdut sebagai hiburan, acara meriah pun digelar sesuai keinginan Tarjo. Sampai-sampai pengguna jalan yang akan melewati desa harus memutar karena jalan dari ujung desa ditutup untuk acara pernikahan. Bahkan semua penduduk dari tiga desa tetangga pun turut diundang. Pesta besar.

"Tarjo kok belum pulang kemana ini?". Semua keluarga nampak gelisah dengan kepergian Tarjo sejak tadi malam.

"Ndak tahu Pak, tadi malam katanya mau ke rumah temannya, tapi saya ndak tahu dimana". Kata salah seorang pemuda desa.

"Lo kan Tarjo punya.. Apa itu? Bebe? Memangnya ndak bisa dihubungi?". 

"Nomernya ndak aktif".

 Satu jam kemudian belum muncul juga batang hidung Tarjo. Semua pemuda pun telah dikerahkan untuk mencari.

"Anu Pak.. Anu.. Si Tarjo..". Seseorang datang dengan terengah-engah.

"Kenapa? si Tarjo kenapa..?".

"Tar.. Tarjo ditangkap Polisi!".

"Lo memangnya salah apa?".

"ternyata perampokan di kota sebulan lalu itu Tar.. Tarjo pelakunya!". Katanya terbata-bata.

"Jadi buat biaya semua acara ini dari hasil ngrampok?". Siti berteriak 

Kepanikan terjadi. Siti menangis menjadi-jadi. Tarjo telah berhasil membuat pesta pernikahan yang meriah, tapi harus membayar mahal untuk itu. Dan nampaknya harus memperpanjang masa lajangnya yang sudah menginjak 33 tahun.

Waacccaaaauuuuuwwwww.....!! 
   
   
  

Cerpen : Surat Pink

Sudah sekitar satu jam perempuan itu berkeliling hanya untuk mencari amplop berwarna pink. Entahlah, mungkin dia sedang jatuh cinta, atau paling tidak orang yang dituju dalam surat adalah orang yang dicintainya. Bukankah warna itu menggambarkan cinta? Ah.. Mungkin disini tidak ada lagi yang memiliki cinta, pikirnya. Atau mungkin cinta telah luntur terkena hujan pagi tadi. Bahkan mungkin cinta telah bosan sehingga mati bunuh diri. Langkahnya gontai satu satu melewati sisi trotoar. Memasuki setiap warung yang dilewati berharap menemukan amplop berwarna pink untuk sepucuk surat yang sudah ditulisnya semalam. 

        ***

"Bu.. Bapak dimana sih, kok nggak pernah pulang?". Pertanyaan Galih membuat Iren terhenyak.

"Bapakmu merantau nak, berdoa saja mudah mudahan bisa cepat ketemu sama Bapak..". Jawabnya 

"Merantau kemana?".

"Sudah.. Mudah mudahan Bapak cepat pulang ya nak?".

"Kapan Bu? Memang Bapak lupa sama Galih ya?". Tak terasa air mata Iren menetes perlahan mendengar pertanyaan Galih untuk kesekian kalinya. Pertanyaan yang membuatnya bingung mencari jawaban.

Iren punya mimpi, pergi dari kampung. Bukan hal besar memang, tapi bukankah dari hal kecil sesuatu yang besar terwujud? Yah.. Setidaknya di kota tidak ada yang tahu kalau suaminya selingkuh dengan sinden kampung lalu pergi entah kemana. Setidaknya juga di kota dia bisa membelikan Galih kelereng yang banyak, hal yang sulit dilakukannya di kampung. Dan masih banyak lagi harapannya pada kota. 

"Mudah mudahan Ibu bisa menyekolahkan kamu sampai SMA ya nak?". Ucapnya kemudian. Tidak muluk muluk memang, karena menurutnya tidak perlu gelar sarjana untuk menjadi seorang pejuang. Ya, berjuang untuk bertahan hidup. Berjuang melawan sedikit ketertinggalan modernisasi.

Sudah lama sebenarnya Iren berkeinginan merantau ke Jakarta, tapi Bude, kakak perempuan dari Ayahnya selalu melarang. 

"Disini saja nduk.. Toh belum tentu di Jakarta kamu bisa kerja, memangnya disana kamu punya kenalan? Nggak to?". Itu saja yang selalu dikatakan Bude, sosok pengganti seorang ibu baginya semenjak kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Tapi baginya hidup adalah pilihan, dan hidup terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang salah. Merantau ke Jakarta adalah pilihan yang tepat, pikirnya.

     ***

Angin bertiup perlahan dari pinggir kampung. Suara riak air sungai kecil laksana kidung. Seekor belalang bercanda mesra dengan pucuk daun. Hari yang cerah. Anak anak berlari kecil di pematang, mencari pemenang adu layang layang.

"Alhamdulillah..". Ucap syukur Iren setelah mendapat upah Rp 7.500 dari menyiangi sawah kepala desa. Hasil yang tidak seberapa memang, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selain mencari kayu bakar di hutan atau membantu pekerjaan rumah salah seorang tetangga. Profesi mayoritas penduduk dimana Iren tinggal memang bertani, maka tidak heran kalau Iren sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut.

"Ren.. Kang Somad bilang suamimu di Jakarta, dia nggak sengaja ketemu di stasiun Jatinegara". Seru Mas Jarwo, anak tertua Bude yang tiba tiba muncul.

"Ah, yang benar Mas?". Tanya Iren ragu.

"Lo kalau nggak percaya tanya sendiri sama Kang Somad yang baru pulang dari Jakarta". Jawab Mas Jarwo meyakinkan.

"Kang Somadnya sekarang di rumah Mas?".

"Ya di rumah, coba tanya sendiri kalau nggak percaya!".

Entah senang atau apa Iren mendengar kabar tentang keberadaan suaminya. Yang jelas dia hanya ingin Galih mempunyai sosok seorang ayah. Dia tidak ingin Galih berakhir hidup di jalanan, seperti kebanyakan anak anak yang tumbuh dari keluarga berantakan.

"Iya.. Saya lihat suamimu, tapi dia sendirian kok, nggak sama si sinden genit itu". Kata Kang Somad menjawab pertanyaan Iren setelah mereka bertemu.

"Terus kalau saya mau ketemu gimana caranya Kang?".

"Ya nggak tahu, saya cuma lihat di stasiun kok".

"Belum sempat ngobrol to?".

"Belum.. mau ngobrol gimana tahu tahu keretanya datang, ya saya langsung naik. Dia saja nggak sempat lihat saya".

Semakin mantap keinginan Iren untuk pergi ke Jakarta. Paling tidak untuk beberapa alasan selain mencari pekerjaan, yaitu bertemu suaminya. Untuk Galih. Untuk masa depan Galih. 

    ***

Sudah sejak semalam Iren mengemasi barangnya yang hendak dibawa ke Jakarta. Tidak banyak memang, cuma beberapa pasang pakaian dan bekal ala kadarnya. 

"Di Jakarta kamu mau tinggal sama siapa? Mau kerja apa? Jaman sekarang cari kerjaan susah lo, Mas Pri saja yang sarjana sampai sekarang masih nganggur". Lagi lagi Bude mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.

"Ya berdoa sambil berusaha Bude, mudah mudahan cepat dapat kerjaan".

"Nggak semudah yang kamu bayangkan, ada yang berhasil tapi banyak juga yang nggak berhasil". 

"Tapi kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu berhasil apa nggak kan Bude?". 

"Atau kamu mau cari suamimu?". Kata Bude lagi.

"Ya mudah mudahan bisa ketemu juga Bude, kasihan Galih".

Sungguh berat rasanya meninggalkan Galih, tapi dia harus, karena ini juga demi Galih. Bukankah di Jakarta Banyak uang? Bukankah disana banyak pekerjaan? Bukankah setelah sukses disana dia bisa memboyong Galih ikut dengannya? Memang Jakarta menyisakan mimpi bagi banyak orang seperti Iren. 

"Ya sudah.. Kalau memang kamu sudah yakin ya nggak apa apa, Bude cuma bisa mendoakan mudah mudahan kamu bisa berhasil di Jakarta seperti Kang Somad".

"Iya Bude, terima kasih.. Saya titip Galih ya Bude..". Kata Iren kemudian.

Tiket sudah dibelikan Mas Jarwo, kereta ekonomi Purbaya jurusan Surabaya-Jakarta. Iren berencana turun di stasiun Jatinegara berharap bisa melihat suaminya disana seperti Kang Somad. Entahlah, ini baru pertama kalinya dia ke Jakarta dan tidak ada keluarga maupun sanak saudara yang dituju. Tapi niatnya sudah bulat.

***

"Galih.. Ini kamu dapat surat dari Ibumu". Terdengar suara Bude memanggil Galih. 

Ini adalah surat pertama Iren semenjak kepergiannya setahun yang lalu. Selain itu dia hanya beberapa kali mengirim uang yang jumlahnya pun tidak seberapa. Kebahagiaan Galih tak terbendung, matanya berkaca-kaca ketika membaca surat dari Ibunya. Surat dengan amplop berwarna pink.


Buat Galih sayang:

    Nak.. Bagaimana kabarmu? Mudah mudahan baik baik saja ya.. Maaf Ibu belum bisa pulang. Dibantu doanya ya nak supaya Ibu dapat rejeki, terus bisa pulang dan beli baju baru buat Galih. Oh iya, nanti Ibu belikan kelereng juga ya.. Masih suka main kelerang di depan rumah kan? Hehe.. Bagaimana juga kabar teman temanmu? Andi, Gion, Joko, Krimbil..
    Nak.. Ternyata berjuang itu tidak mudah, kadang kita harus berkali kali jatuh. Tapi itulah perjuangan, karena disaat kita jatuh itulah kita harus bersyukur karena Allah sedang memberi peringatan agar kita terus dekat denganNya. Shalatnya dijaga ya nak, mudah mudahan dengan itu Allah selalu memberi kemudahan. 
    Sekali lagi Ibu minta maaf karena belum bisa membahagiakan Galih, tapi sebaliknya Galih selalu bisa membuat Ibu bahagia. Karena satu satunya hal yang bisa membuat Ibu bahagia saat ini adalah ketika mengingat bahwa Ibu mempunyai anak bernama Galih. Ibu sayang sama Galih, Ibu kangen. Kadang Ibu nangis lo kalau ingat Galih. Nggak apa apa kan? 
    Sudah dulu ya nak.. Nggak perlu mikirin Ibu. Ibumu disini baik baik saja. Galih yang yang rajin belajarnya. Sekali lagi jangan lupa dijaga shalat lima waktunya..

Dari Ibu yang selalu sayang sama Galih.

                                            ***

Suara bising ribut kereta api berlalu lalang. Ratusan manusia berjubel menunggu antrian. Jatinegara, demikian tulisan yang ada di atas pintu masuk stasiun. Sementara itu, di pinggir rel tidak jauh dari stasiun, seorang ibu sedang mencari sisa sisa rongsokan dengan memikul sebuah karung kecil di punggungnya. Tubuhnya kurus. Ada cacar di mukanya. Perempuan yang hidup dari sisa. Sisa makan, minum, dan kadang sisa dosa dari botol bir para berandal yang kemudian diambilnya untuk dijual. Perempuan yang seolah seluruh hidupnya telah dilalui dengan perjuangan. Untuk dirinya, atau mungkin juga untuk orang yang dicintainya. Iren nama permpuan itu. Tampak lelah, tapi tidak untuk menyerah.