Rabu, 25 Januari 2012

Genderang

 Gambar dari sini


Bercurah-curah dari tanah
mata air merah
Adalah lautan yang meminta hujan
Matahari rebutkan api
Tangis pepohonan raja
pada tuhan-tuhan mereka,
"Tinggiku bibir langit."

Bahwa kelak luka di gelambir nadimu

Lelaki yang Menunggu Hujan dan Kabut

Bangau-bangau telah pulang menuju sarang di punggung bukit. Anak tupai kembali ke peraduan. Sudah tak tampak pula domba-domba yang menghiasi tanah lapang. "Malam ini hujan dan kabut akan datang.." Gumam lelaki sembari memandang awan yang berarak di langit sore. Lalu segera menuju beranda duduk di atas kursi tua. Menanti malam segera tiba.

Sudah berapa lama? Entahlah, yang jelas bunga-bunga cempaka dan kenanga yang dulu menghiasi halaman kini telah tertutup ilalang. Ranting dan daun-daun berserakan. Rumah kayu pun telah lapuk dimakan rayap karena tak terawat. Belum lagi sekelompok kelelawar yang bersarang di langit-langit ruang tamu. Dan hingga kini, setiap malam lelaki terus menunggu datangnya hujan dan kabut di sela rerimbunan bambu-bambu depan rumah kayunya.

Dia tinggal sendirian di rumahnya di ujung desa dekat kuburan tua.

Markas Perampok

Dusun Ngeblak markas perampok. Dari perampok sapi sampai sandal jepit, dari yang bocah sampai aki-aki bau tanah. Pria, wanita, yang banci juga ada. Semuanya perampok. Bukan warga Dusun Ngeblak kalau bukan perampok, dan bukan perampok sejati kalau tidak tinggal di Dusun Ngeblak. Yang merampok tiga kali sehari seperti jadwal makan nasi, yang merampok sekedar menyalurkan hobi. Konon kabarnya memang turunan dari nenek moyang, sejak jaman penjajah Belanda dan Jepang.

Kepala desa bernama Ki Suro Buntung. Kepala perampok nomer wahid yang paling ulung. Kumis tebal, rambut keriting, kulit hitam, dan mata sedikit juling. Ada yang bilang orang ini lahir saat Ibunya merampok sapi. Dan umur enam tahun sudah diajari merampok oleh Bapaknya. Dia lah sang maestro. Pilih tanding, linuwih, dan mempunyai jam terbang tertinggi dalam merampok.

Tidak ada surau atau masjid di Dusun Ngeblak, cuma sebuah rumah kosong yang digunakan untuk minum arak, judi, dan mengumpulkan hasil rampokan. Rumah itu dulu milik Pak Kastro yang diusir keluar kampung karena bukan perampok. Sempat pula Pak Kastro melawan dengan menghunus pisau dapur, tapi apa daya akhirnya lari tunggang langgang karena dikejar dengan linggis dan parang.

Setiap orang luar yang melewati jalan Dusun Ngeblak harus melalui pos penjagaan yang dijaga para perampok. Setelah diketahui dia bukan perampok, maka pasti akan dirampok, tak perduli ningrat atau pejabat. Dengan kata lain hanya perampok lah yang bisa melewati jalan Dusun Ngeblak.

***

Warga Dusun Ngeblak berkumpul. Kepala desa Ki Suro Buntung naik podium.

"Ehm ehmm.." Berdehem sejenak Ki Suro Buntung sembari memelintir kumis.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua warga Dusun Ngeblak yang saya banggakan.." Lanjutnya dengan suara menggelegar penuh wibawa ditengah-tengah warganya.

"Ehm ehmm.." Kembali berdehem Ki Suro Buntung.

"Begini bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati.." Warga dengan seksama menyimak pidato Ki Suro Buntung.

"Bapak-bapak, ibu-ibu.. Ehm ehm.." Tampak Ki Suro Buntung sedikit gugup kali ini. Warga mulai kasak-kusuk di belakang.

"Ehm.. Begini.. Saya Ki Suro Buntung.." Lagi-lagi berhenti pidato Suro Buntung.

"Saya Ki Suro Buntung.." Lanjutnya lagi, dan warga pun mulai penasaran dengan apa yang akan dikatakan Ki Suro Buntung.

"Saya sudah melanglang buana di dunia perampokan, dan dengan ini saya menyatakan berhenti menjadi perampok." Kata Ki Suro Buntung akhirnya. Entah ada angin apa, mendadak saja Ki Suro Buntung ingin berhenti dari jagat perampokan yang telah membesarkan namanya.

Hening.. Warga saling pandang satu sama lain. Kemudian gaduh.

"Apa maksudnya Ki? Kamu akan meninggalkan peninggalan tradisi mbah-mbah kita?" Kata salah seorang warga yang juga termasuk jajaran ketua gembong perampok.

"Jadi kamu ingin mengikuti jejak Pak Kastro yang sudah diusir dari dusun?" Katanya lagi dengan nada tinggi. Ki Suro Buntung yang tadinya disegani para warga kini berbalik menjadi musuh di hadapan warganya.

Si Jalu, anak kandung Ki Suro Buntung yang berada di dekat podium tiba-tiba menghunus parang, kemudian maju ke depan hendak dibabat pula ayahnya. Untung saja beberapa orang mencegah. "Kita bicarakan dulu baik-baik.." Kata sebagian dari mereka berusaha meredam emosi Si Jalu dan warga lain.

***

Warga dikejutkan suara azan di siang bolong dari arah pinggiran Dusun Ngeblak. Kemudian ramai-ramai orang berkumpul membawa linggis dan parang. Dipimpin Si Jalu mereka datangi arah suara.

"Dia telah menginjak-injak harga diri kita." Kata Si Jalu mengobarkan semangat para warga.

"Betuul.. Betuul..!!" Disambut teriakan perampok-perampok warga Dusun Ngeblak.

Betul saja dugaan mereka, suara azan berasal dari Ki Suro Buntung di pinggiran Dusun Ngeblak. Lalu serempak pengepungan terjadi pada Ki Suro Buntung yang baru saja selesai melaksanakan solat.

"Kamu telah menodai sejarah leluhur kita." Kata Si Jalu sembari acungkan parang pada Ki Suro Buntung, yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Dengan bahu berselempang sarung tampak tenang Ki Suro Buntung. "Lalu apa mau kalian? Membunuhku?" Kata Ki Suro Buntung setengah menantang pada para warga Dusun Ngeblak.

"Bisa saja, kalau kamu tetap ingin menjadi perampok dan masih tetap tinggal di Dusun Ngeblak." Kata Si Jalu tampak emosi, berkata dengan nada tinggi mewakili warga-warga lainnya.

Pilihan yang sulit bagi Ki Suro Buntung. Entah benar atau tidak ancaman para warga, yang jelas hanya satu yang ada dalam benak Ki Suro Buntung, yaitu mempertahankan keyakinannya.

***

Sementara itu.. Beberapa waktu kemudian di sebuah dusun yang jauh dari Dusun Ngeblak..

"Alif, ba, ta, tsa.." Terdengar riuh rendah suara bocah-bocah dari sebuah masjid.

Dan di beranda rumah bambu samping masjid seorang kakek tampak sedang bercerita pada cucunya.

"Dusun ini dulu cuma hutan nak.." Kata si kakek

"Lalu..?

"Seseorang telah membukanya menjadi sebuah perkampungan." Lanjut si kakek, diiringi anggukan si cucu.

"Dan kamu lihat masjid itu nak?"

"Iya kek, lalu?"

"Masjid itu dulu hanya surau kecil. Dari situ lah orang yang membuka dusun ini pertama kalinya dulu memulai dakwah, hingga akhirnya agama yang dia bawa menyebar. Bahkan warga-warga yang menentang di dusun asalnya dulu pun menjadi pengikutnya."

"Siapa dia kek..?"

"Namanya diabadikan menjadi nama masjid itu. Masjid Ki Suro Buntung."

Surat Pink

Sudah sekitar satu jam perempuan itu berkeliling hanya untuk mencari amplop berwarna pink. Entahlah, mungkin dia sedang jatuh cinta, atau paling tidak orang yang dituju dalam surat adalah orang yang dicintainya. Bukankah warna itu menggambarkan cinta? Ah.. Mungkin disini tidak ada lagi yang memiliki cinta, pikirnya. Atau mungkin cinta telah luntur terkena hujan pagi tadi. Bahkan mungkin cinta telah bosan sehingga mati bunuh diri.

***

"Bu.. Bapak dimana sih, kok nggak pernah pulang?". Pertanyaan Galih membuat Iren terhenyak.

"Bapakmu merantau nak, berdoa saja mudah mudahan bisa cepat ketemu sama Bapak..". Jawabnya

"Merantau kemana?".

"Sudah.. Mudah mudahan Bapak cepat pulang ya nak?".

"Kapan Bu? Memang Bapak lupa sama Galih ya?". Tak terasa air mata Iren menetes perlahan mendengar pertanyaan Galih untuk kesekian kalinya. Pertanyaan yang membuatnya bingung mencari jawaban.

Iren punya mimpi, pergi dari kampung. Bukan hal besar memang, tapi bukankah dari hal kecil sesuatu yang besar terwujud? Yah.. Setidaknya di kota tidak ada yang tahu kalau suaminya selingkuh dengan sinden kampung lalu pergi entah kemana. Setidaknya juga di kota dia bisa membelikan Galih kelereng yang banyak, hal yang sulit dilakukannya di kampung. Dan masih banyak lagi harapannya pada kota.

"Mudah mudahan Ibu bisa menyekolahkan kamu sampai SMA ya nak?". Ucapnya kemudian. Tidak muluk muluk memang, karena menurutnya tidak perlu gelar sarjana untuk menjadi seorang pejuang. Ya, berjuang untuk bertahan hidup. Berjuang melawan sedikit ketertinggalan modernisasi.

Sudah lama sebenarnya Iren berkeinginan merantau ke Jakarta, tapi Bude, kakak perempuan dari Ayahnya selalu melarang.

"Disini saja nduk.. Toh belum tentu di Jakarta kamu bisa kerja, memangnya disana kamu punya kenalan? Nggak to?". Itu saja yang selalu dikatakan Bude, sosok pengganti seorang ibu baginya, sejak kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Tapi baginya hidup adalah pilihan, dan hidup terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang salah. Merantau ke Jakarta adalah pilihan yang tepat, pikirnya.

***

Angin bertiup perlahan dari pinggir kampung. Suara riak air sungai kecil laksana kidung. Seekor belalang bercanda mesra dengan pucuk daun. Hari yang cerah. Anak anak berlari kecil di pematang, mencari pemenang adu layang layang.

"Alhamdulillah..". Ucap syukur Iren setelah mendapat upah Rp 7.500 dari menyiangi sawah kepala desa. Hasil yang tidak seberapa memang, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selain mencari kayu bakar di hutan atau membantu pekerjaan rumah salah seorang tetangga. Profesi mayoritas penduduk dimana Iren tinggal memang bertani, maka tidak heran kalau Iren sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut.

"Ren.. Kang Somad bilang suamimu di Jakarta, dia nggak sengaja ketemu di stasiun Jatinegara". Seru Mas Jarwo, anak tertua Bude yang tiba tiba muncul.

"Ah, yang benar Mas?". Tanya Iren ragu.

"Lo kalau nggak percaya tanya sendiri sama Kang Somad yang baru pulang dari Jakarta". Jawab Mas Jarwo meyakinkan.

"Kang Somadnya sekarang di rumah Mas?".

"Ya di rumah, coba tanya sendiri kalau nggak percaya!".

Entah senang atau apa Iren mendengar kabar tentang keberadaan suaminya. Yang jelas dia hanya ingin Galih mempunyai sosok seorang ayah. Dia tidak ingin Galih berakhir hidup di jalanan, seperti kebanyakan anak anak yang tumbuh dari keluarga berantakan.

"Iya.. Saya lihat suamimu, tapi dia sendirian kok, nggak sama si sinden genit itu". Kata Kang Somad menjawab pertanyaan Iren setelah mereka bertemu.

"Terus kalau saya mau ketemu gimana caranya Kang?".

"Ya nggak tahu, saya cuma lihat di stasiun kok".

"Belum sempat ngobrol to?".

"Belum.. mau ngobrol gimana tahu tahu keretanya datang, ya saya langsung naik. Dia saja nggak sempat lihat saya".

Semakin mantap keinginan Iren untuk pergi ke Jakarta. Paling tidak untuk beberapa alasan selain mencari pekerjaan, yaitu bertemu suaminya. Untuk Galih. Untuk masa depan Galih.

***

Sudah sejak semalam Iren mengemasi barangnya yang hendak dibawa ke Jakarta. Tidak banyak memang, cuma beberapa pasang pakaian dan bekal ala kadarnya.

"Di Jakarta kamu mau tinggal sama siapa? Mau kerja apa? Jaman sekarang cari kerjaan susah lo, Mas Pri saja yang sarjana sampai sekarang masih nganggur". Lagi lagi Bude mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.

"Ya berdoa sambil berusaha Bude, mudah mudahan cepat dapat kerjaan".

"Nggak semudah yang kamu bayangkan, ada yang berhasil tapi banyak juga yang nggak berhasil".

"Tapi kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu berhasil apa nggak kan Bude?".

"Atau kamu mau cari suamimu?". Kata Bude lagi.

"Ya mudah mudahan bisa ketemu juga Bude, kasihan Galih".

Sungguh berat rasanya meninggalkan Galih, tapi dia harus, karena ini juga demi Galih. Bukankah di Jakarta Banyak uang? Bukankah disana banyak pekerjaan? Bukankah setelah sukses disana dia bisa memboyong Galih ikut dengannya? Memang Jakarta menyisakan mimpi bagi banyak orang seperti Iren.

"Ya sudah.. Kalau memang kamu sudah yakin ya nggak apa apa, Bude cuma bisa mendoakan mudah mudahan kamu bisa berhasil di Jakarta seperti Kang Somad".

"Iya Bude, terima kasih.. Saya titip Galih ya Bude..". Kata Iren kemudian.

Tiket sudah dibelikan Mas Jarwo, kereta ekonomi Purbaya jurusan Surabaya-Jakarta. Iren berencana turun di stasiun Jatinegara berharap bisa melihat suaminya disana seperti Kang Somad. Entahlah, ini baru pertama kalinya dia ke Jakarta dan tidak ada keluarga maupun sanak saudara yang dituju. Tapi niatnya sudah bulat.

***

"Galih.. Ini kamu dapat surat dari Ibumu". Terdengar suara Bude memanggil Galih.

Ini adalah surat pertama Iren semenjak kepergiannya setahun yang lalu. Selain itu dia hanya beberapa kali mengirim uang yang jumlahnya pun tidak seberapa. Kebahagiaan Galih tak terbendung, matanya berkaca-kaca ketika membaca surat dari Ibunya. Surat dengan amplop berwarna pink.
______________________

-Buat Galih sayang:

Nak.. Bagaimana kabarmu? Mudah mudahan baik baik saja ya.. Maaf Ibu belum bisa pulang. Dibantu doanya ya nak supaya Ibu dapat rejeki, terus bisa pulang dan beli baju baru buat Galih. Oh iya, nanti Ibu belikan kelereng juga ya.. Masih suka main kelerang di depan rumah kan? Hehe.. Bagaimana juga kabar teman-temanmu? Andi, Gion, Joko, Krimbil..

Nak.. Ternyata berjuang itu tidak mudah, kadang kita harus berkali kali jatuh. Tapi itulah perjuangan, karena disaat kita jatuh itulah kita harus bersyukur karena Allah sedang memberi peringatan agar kita terus dekat denganNya. Shalatnya dijaga ya nak, mudah mudahan dengan itu Allah selalu memberi kemudahan.

Sekali lagi Ibu minta maaf karena belum bisa membahagiakan Galih, tapi sebaliknya Galih selalu bisa membuat Ibu bahagia. Karena satu-satunya hal yang bisa membuat Ibu bahagia saat ini adalah ketika mengingat bahwa Ibu mempunyai anak bernama Galih. Ibu sayang sama Galih, Ibu kangen. Kadang Ibu nangis lo kalau ingat Galih. Nggak apa-apa kan?

Sudah dulu ya nak.. Nggak perlu mikirin Ibu. Ibumu disini baik baik saja. Galih yang yang rajin belajarnya. Sekali lagi jangan lupa dijaga shalat lima waktunya..

-Dari Ibu yang selalu sayang sama Galih.
______________________

***

Suara bising ribut kereta api berlalu lalang. Ratusan manusia berjubel menunggu antrian. Jatinegara, demikian tulisan yang ada di atas pintu masuk stasiun. Sementara itu, di pinggir rel tidak jauh dari stasiun, seorang ibu tampak berjalan terseok satu-satu. Mencari sisa rongsokan dengan menenteng karung lusuh. Tubuhnya kurus. Ada cacar di mukanya.

Perempuan yang hidup dari sisa. Sisa makan, minum, dan kadang sisa dosa dari botol bir para berandal yang kemudian diambilnya untuk dijual. Perempuan yang seolah seluruh hidupnya telah dilalui dengan perjuangan. Untuk dirinya, atau mungkin juga untuk orang yang dicintainya. Iren nama permpuan itu.

Do'a - Do'a di Punggung Hujan

Matamu nyalang pada yang mati di punggung hujan
Mengeja nafas kita yang terkubur satu-satu

"Ini dulu milik kita." Katamu. Sembari menatap kapal-kapal yang labuhkan ribuan jalang

Lalu kau bercerita pada anak cucu
Tentang dadamu yang tertimbun peluru
Tentang doa-doa di punggung hujan

Geng Ember Toilet

Joko terus saja terpingkal mengingat pelariannya melewati comberan samping pasar. Begitu pula dengan Ucup dan aku yang membuat berantakan sayur-sayuran Bi Inah. Kami bertiga tertawa lepas setelah lolos dari pengejaran penjaga toilet umum. Jarang kami bisa tertawa seperti ini, mengingat acara komedi hanya ada di televisi dalam rumah-rumah. Dan badut-badut tak bisa dijumpai di sela ban-ban karet angkot tua dan riuh lorong pasar.

Sedikit merepotkan memang, membuat kami tak sempat mencari ember toilet seperti biasa untuk makan pagi ini. Tapi tak apa, karena lapar-lapar telah terbayar dengan sebuah tawa. Dan kami masih tertawa sepanjang pinggiran jalan menuju terminal yang letaknya tidak jauh dari pasar. Senang rasanya punya cerita hari ini, mengingat cerita dan dongeng-dongeng hanya ada di buku dalam sekolah-sekolah. Dan pembaca cerita tidak ada di tempat kami hidup dan dibesarkan : Jalanan.

Joko, Ucup, dan aku Galih. Kami bertiga. Bocah pemulung belasan tahun penghuni sesak kota. Panggil saja kami Geng Ember Toilet. Pasukan penggasak ember toilet. Ember yang masih bagus dalam toilet umum pun kami injak-injak kemudian masuk ke dalam karung kecil bersama kardus, botol minuman, dan barang-barang rongsokan lain. Tapi ember toilet adalah favorit kami, karena tak perlu bersusah-payah mengorek-ngorek sampah untuk mengisi lapar kami.

Mungkin Joko yang tertua di antara kami, melihat perawakannya yang paling bongsor. Dia juga yang paling penakut, karena setiap beraksi dalam menggasak ember toilet dia selalu berada di garis belakang, dan terdepan dalam pelarian. Tapi tak apa, toh kami saudara, sama-sama diasuh karung rongsokan dan makian kotor bahkan tamparan penjaga toilet yang memergoki aksi kami. Dan jangan bertanya dimana halaman kampungnya, karena akan keluar jawaban berbeda untuk setiap pertanyaan yang sama.

Lain lagi Ucup, si tengil beringas yang mudah diserang amarah. Dan yang paling sering mendapat luapan kemarahannya adalah Joko. Dalam setiap perburuan ember toilet, Joko selalu kena omelan karena kelambanannya. Ucup merupakan buronan ibu tiri yang telah membesarkannya, setelah minggat dengan membawa uang dan sedikit perhiasan. Dia pula yang paling memendam dendam kepada para penjaga-penjaga toilet. "Kalau aku sudah besar nanti akan kuhajar mereka satu-satu." Katanya.

Ya. Kami bertiga. Dan aku, Galih, akan selalu berada di antara mereka berdua. Kami biasa tidur di pasar atau bangku-bangku terminal. Tak masalah bagi kami karena dingin telah terusir debu jalanan dan bau kecut keringat calo terminal. Jangan tanya cita-cita pada kami karena keinginan terbesar kami adalah bertahan hidup untuk hari ini. Biar waktu yang menjawab nasib kami esok hari.

***

Kami kembali beraksi. Ember toilet umum terminal yang seminggu lalu kami curi kini telah diganti yang baru, itulah yang kami incar. Setelah berunding dan mengatur siasat, akhirnya diputuskan aku berada di garis terdepan, Ucup bertugas membawa hasil curian nantinya, dan Joko mengawasi keadaan. Dengan langkah yakin penuh kemenangan kami pun merapat menuju sasaran.

Kesempatan emas. Penjaga toilet tampak sedang minum kopi di warung terminal. Aku pun masuk dari arah samping toilet. Melihat ember baru dari balik pintu toilet yang terbuka seakan tumpukan harta karun bagiku. Begitu menggiurkan. Kupercepat langkah dengan tergesa. Ucup mengikuti dari belakang dengan memegang karung kecil lusuh. Dengan mata liar Joko mengawasi sekeliling.

Bibir ember kupegang, kuraba pantatnya yang mulus, kumiringkan, dan dengan sekali injak ember terpecah menjadi beberapa bagian. Ucup kemudian bergerak cepat memasukkannya ke dalam karung. Kulirik Joko yang mengangkat jempol kode keadaan masih aman. Dan.. Masuklah ember ke dalam karung oleh tangan mungil Ucup tanda kesuksesan aksi kami telah di depan mata.

"Hey.. Maling cilik..!" Teriak Entah siapa yang tanpa kami sadari keluar dari kamar toilet sebelah kiri. Kami bertiga lari berhamburan tunggang langgang lintang pukang. Penjaga toilet yang mendengar kegaduhan segera mengejar karena sudah cukup geram dengan beberapa kali aksi kami. Kami bertiga melarikan diri berpencar. Tapi naas bagi Ucup, entah kenapa penjaga toilet memilih mengejarnya.

"Maling.. Maling..!" Teriak penjaga toilet sembari mengejar Ucup yang berlari menuju seberang jalan. Ikut mengejar pula supir, kernet, dan calo terminal.

Bruk..!

Tiba-tiba saja sebuah mobil yang melaju kencang menabrak Ucup yang sedang berlari menyeberangi jalan. Dia terpental beberapa meter. Orang-orang di sekitar riuh. Aku tercekat melihat dari kejauhan. Ucup diam terkapar. Darahnya menggenangi pinggiran jalan. Dan karung kecil lusuh berisi ember toilet masih erat digenggamnya, sebagai saksi sebuah kematian karena keadaan yang tak berpihak pada nasib jalanan.

Kota terasa begitu kejam bagi perut yang lapar. Ya. Ucup mati. Tidak ada yang sejenak menundukkan kepala kecuali ban-ban karet angkot tua dan riuh lorong pasar. Tidak ada yang untuk sebentar saja serupa dihimpit gedung-gedung tinggi kecuali aku dan Joko. Kini tinggal kami berdua. Entahlah, biar waktu yang menjawab nasib kami esok hari. Karena ember toilet tetap menjadi piring nasi bocah pemulung seperti kami.

Gudang Senjata

Ini jalanan Bung!
Bukan hotel, gedung, plaza dan bandara
Hanya asap knalpot dan keringat bejat bau cuka
Berserak botol arak berandal kota

Ini kejam Bung!
Di tong sampah ada bayi
Mayat dalam kereta pagi
Korban nafsu biadab yang enyahkan harga diri

Dan kita Bung..
Sekarat dihimpit hotel, gedung, plaza, dan bandara
Karena cinta telah mati bunuh diri.

Orang-orang Jalanan

Kami yang bernafas dari sikut licik tak perduli
Menyulam trotoar belantara kini
Di antara tumpukan kardus bekas dan ikan Teri

Kami yang sembunyi di ketiak para kurcaci
Lelap dihimpit bus way dan metro mini
Karena bestari tidak di sini

Kami yang berdiri tanpa panji-panji
: Menunggu mati

Sepak Terjang Tarjo

"Jo.. Cepet cari istri to.. Bapakmu ini sudah kebelet kepingin punya cucu".

"Bapak ini ngomongnya mbok jangan itu terus to..!".

"Lo wajar to Jo. Umurmu sudah kepala tiga lo? Ndak perlu cantik cantik, yang penting bisa masak, nyuci, bikin kopi tubruk, ndak cerewet. Sukur sukur hidungnya mancung, tidak ya ndak apa apa, yang penting ndak jerawatan".

"Opo to Bapak iki?"

"Seperti Ibumu itu lo Jo, sederhana tapi bersahaja".

Kalau mau jujur, Tarjo pun tak tahan dengan kesendirian. Hmm.. Lagi lagi ingatannya tertuju pada Maesaroh, mantan pacar