Rabu, 25 Januari 2012

Genderang

 Gambar dari sini


Bercurah-curah dari tanah
mata air merah
Adalah lautan yang meminta hujan
Matahari rebutkan api
Tangis pepohonan raja
pada tuhan-tuhan mereka,
"Tinggiku bibir langit."

Bahwa kelak luka di gelambir nadimu

Lelaki yang Menunggu Hujan dan Kabut

Bangau-bangau telah pulang menuju sarang di punggung bukit. Anak tupai kembali ke peraduan. Sudah tak tampak pula domba-domba yang menghiasi tanah lapang. "Malam ini hujan dan kabut akan datang.." Gumam lelaki sembari memandang awan yang berarak di langit sore. Lalu segera menuju beranda duduk di atas kursi tua. Menanti malam segera tiba.

Sudah berapa lama? Entahlah, yang jelas bunga-bunga cempaka dan kenanga yang dulu menghiasi halaman kini telah tertutup ilalang. Ranting dan daun-daun berserakan. Rumah kayu pun telah lapuk dimakan rayap karena tak terawat. Belum lagi sekelompok kelelawar yang bersarang di langit-langit ruang tamu. Dan hingga kini, setiap malam lelaki terus menunggu datangnya hujan dan kabut di sela rerimbunan bambu-bambu depan rumah kayunya.

Dia tinggal sendirian di rumahnya di ujung desa dekat kuburan tua.

Markas Perampok

Dusun Ngeblak markas perampok. Dari perampok sapi sampai sandal jepit, dari yang bocah sampai aki-aki bau tanah. Pria, wanita, yang banci juga ada. Semuanya perampok. Bukan warga Dusun Ngeblak kalau bukan perampok, dan bukan perampok sejati kalau tidak tinggal di Dusun Ngeblak. Yang merampok tiga kali sehari seperti jadwal makan nasi, yang merampok sekedar menyalurkan hobi. Konon kabarnya memang turunan dari nenek moyang, sejak jaman penjajah Belanda dan Jepang.

Kepala desa bernama Ki Suro Buntung. Kepala perampok nomer wahid yang paling ulung. Kumis tebal, rambut keriting, kulit hitam, dan mata sedikit juling. Ada yang bilang orang ini lahir saat Ibunya merampok sapi. Dan umur enam tahun sudah diajari merampok oleh Bapaknya. Dia lah sang maestro. Pilih tanding, linuwih, dan mempunyai jam terbang tertinggi dalam merampok.

Tidak ada surau atau masjid di Dusun Ngeblak, cuma sebuah rumah kosong yang digunakan untuk minum arak, judi, dan mengumpulkan hasil rampokan. Rumah itu dulu milik Pak Kastro yang diusir keluar kampung karena bukan perampok. Sempat pula Pak Kastro melawan dengan menghunus pisau dapur, tapi apa daya akhirnya lari tunggang langgang karena dikejar dengan linggis dan parang.

Setiap orang luar yang melewati jalan Dusun Ngeblak harus melalui pos penjagaan yang dijaga para perampok. Setelah diketahui dia bukan perampok, maka pasti akan dirampok, tak perduli ningrat atau pejabat. Dengan kata lain hanya perampok lah yang bisa melewati jalan Dusun Ngeblak.

***

Warga Dusun Ngeblak berkumpul. Kepala desa Ki Suro Buntung naik podium.

"Ehm ehmm.." Berdehem sejenak Ki Suro Buntung sembari memelintir kumis.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua warga Dusun Ngeblak yang saya banggakan.." Lanjutnya dengan suara menggelegar penuh wibawa ditengah-tengah warganya.

"Ehm ehmm.." Kembali berdehem Ki Suro Buntung.

"Begini bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati.." Warga dengan seksama menyimak pidato Ki Suro Buntung.

"Bapak-bapak, ibu-ibu.. Ehm ehm.." Tampak Ki Suro Buntung sedikit gugup kali ini. Warga mulai kasak-kusuk di belakang.

"Ehm.. Begini.. Saya Ki Suro Buntung.." Lagi-lagi berhenti pidato Suro Buntung.

"Saya Ki Suro Buntung.." Lanjutnya lagi, dan warga pun mulai penasaran dengan apa yang akan dikatakan Ki Suro Buntung.

"Saya sudah melanglang buana di dunia perampokan, dan dengan ini saya menyatakan berhenti menjadi perampok." Kata Ki Suro Buntung akhirnya. Entah ada angin apa, mendadak saja Ki Suro Buntung ingin berhenti dari jagat perampokan yang telah membesarkan namanya.

Hening.. Warga saling pandang satu sama lain. Kemudian gaduh.

"Apa maksudnya Ki? Kamu akan meninggalkan peninggalan tradisi mbah-mbah kita?" Kata salah seorang warga yang juga termasuk jajaran ketua gembong perampok.

"Jadi kamu ingin mengikuti jejak Pak Kastro yang sudah diusir dari dusun?" Katanya lagi dengan nada tinggi. Ki Suro Buntung yang tadinya disegani para warga kini berbalik menjadi musuh di hadapan warganya.

Si Jalu, anak kandung Ki Suro Buntung yang berada di dekat podium tiba-tiba menghunus parang, kemudian maju ke depan hendak dibabat pula ayahnya. Untung saja beberapa orang mencegah. "Kita bicarakan dulu baik-baik.." Kata sebagian dari mereka berusaha meredam emosi Si Jalu dan warga lain.

***

Warga dikejutkan suara azan di siang bolong dari arah pinggiran Dusun Ngeblak. Kemudian ramai-ramai orang berkumpul membawa linggis dan parang. Dipimpin Si Jalu mereka datangi arah suara.

"Dia telah menginjak-injak harga diri kita." Kata Si Jalu mengobarkan semangat para warga.

"Betuul.. Betuul..!!" Disambut teriakan perampok-perampok warga Dusun Ngeblak.

Betul saja dugaan mereka, suara azan berasal dari Ki Suro Buntung di pinggiran Dusun Ngeblak. Lalu serempak pengepungan terjadi pada Ki Suro Buntung yang baru saja selesai melaksanakan solat.

"Kamu telah menodai sejarah leluhur kita." Kata Si Jalu sembari acungkan parang pada Ki Suro Buntung, yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Dengan bahu berselempang sarung tampak tenang Ki Suro Buntung. "Lalu apa mau kalian? Membunuhku?" Kata Ki Suro Buntung setengah menantang pada para warga Dusun Ngeblak.

"Bisa saja, kalau kamu tetap ingin menjadi perampok dan masih tetap tinggal di Dusun Ngeblak." Kata Si Jalu tampak emosi, berkata dengan nada tinggi mewakili warga-warga lainnya.

Pilihan yang sulit bagi Ki Suro Buntung. Entah benar atau tidak ancaman para warga, yang jelas hanya satu yang ada dalam benak Ki Suro Buntung, yaitu mempertahankan keyakinannya.

***

Sementara itu.. Beberapa waktu kemudian di sebuah dusun yang jauh dari Dusun Ngeblak..

"Alif, ba, ta, tsa.." Terdengar riuh rendah suara bocah-bocah dari sebuah masjid.

Dan di beranda rumah bambu samping masjid seorang kakek tampak sedang bercerita pada cucunya.

"Dusun ini dulu cuma hutan nak.." Kata si kakek

"Lalu..?

"Seseorang telah membukanya menjadi sebuah perkampungan." Lanjut si kakek, diiringi anggukan si cucu.

"Dan kamu lihat masjid itu nak?"

"Iya kek, lalu?"

"Masjid itu dulu hanya surau kecil. Dari situ lah orang yang membuka dusun ini pertama kalinya dulu memulai dakwah, hingga akhirnya agama yang dia bawa menyebar. Bahkan warga-warga yang menentang di dusun asalnya dulu pun menjadi pengikutnya."

"Siapa dia kek..?"

"Namanya diabadikan menjadi nama masjid itu. Masjid Ki Suro Buntung."

Surat Pink

Sudah sekitar satu jam perempuan itu berkeliling hanya untuk mencari amplop berwarna pink. Entahlah, mungkin dia sedang jatuh cinta, atau paling tidak orang yang dituju dalam surat adalah orang yang dicintainya. Bukankah warna itu menggambarkan cinta? Ah.. Mungkin disini tidak ada lagi yang memiliki cinta, pikirnya. Atau mungkin cinta telah luntur terkena hujan pagi tadi. Bahkan mungkin cinta telah bosan sehingga mati bunuh diri.

***

"Bu.. Bapak dimana sih, kok nggak pernah pulang?". Pertanyaan Galih membuat Iren terhenyak.

"Bapakmu merantau nak, berdoa saja mudah mudahan bisa cepat ketemu sama Bapak..". Jawabnya

"Merantau kemana?".

"Sudah.. Mudah mudahan Bapak cepat pulang ya nak?".

"Kapan Bu? Memang Bapak lupa sama Galih ya?". Tak terasa air mata Iren menetes perlahan mendengar pertanyaan Galih untuk kesekian kalinya. Pertanyaan yang membuatnya bingung mencari jawaban.

Iren punya mimpi, pergi dari kampung. Bukan hal besar memang, tapi bukankah dari hal kecil sesuatu yang besar terwujud? Yah.. Setidaknya di kota tidak ada yang tahu kalau suaminya selingkuh dengan sinden kampung lalu pergi entah kemana. Setidaknya juga di kota dia bisa membelikan Galih kelereng yang banyak, hal yang sulit dilakukannya di kampung. Dan masih banyak lagi harapannya pada kota.

"Mudah mudahan Ibu bisa menyekolahkan kamu sampai SMA ya nak?". Ucapnya kemudian. Tidak muluk muluk memang, karena menurutnya tidak perlu gelar sarjana untuk menjadi seorang pejuang. Ya, berjuang untuk bertahan hidup. Berjuang melawan sedikit ketertinggalan modernisasi.

Sudah lama sebenarnya Iren berkeinginan merantau ke Jakarta, tapi Bude, kakak perempuan dari Ayahnya selalu melarang.

"Disini saja nduk.. Toh belum tentu di Jakarta kamu bisa kerja, memangnya disana kamu punya kenalan? Nggak to?". Itu saja yang selalu dikatakan Bude, sosok pengganti seorang ibu baginya, sejak kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Tapi baginya hidup adalah pilihan, dan hidup terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang salah. Merantau ke Jakarta adalah pilihan yang tepat, pikirnya.

***

Angin bertiup perlahan dari pinggir kampung. Suara riak air sungai kecil laksana kidung. Seekor belalang bercanda mesra dengan pucuk daun. Hari yang cerah. Anak anak berlari kecil di pematang, mencari pemenang adu layang layang.

"Alhamdulillah..". Ucap syukur Iren setelah mendapat upah Rp 7.500 dari menyiangi sawah kepala desa. Hasil yang tidak seberapa memang, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selain mencari kayu bakar di hutan atau membantu pekerjaan rumah salah seorang tetangga. Profesi mayoritas penduduk dimana Iren tinggal memang bertani, maka tidak heran kalau Iren sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut.

"Ren.. Kang Somad bilang suamimu di Jakarta, dia nggak sengaja ketemu di stasiun Jatinegara". Seru Mas Jarwo, anak tertua Bude yang tiba tiba muncul.

"Ah, yang benar Mas?". Tanya Iren ragu.

"Lo kalau nggak percaya tanya sendiri sama Kang Somad yang baru pulang dari Jakarta". Jawab Mas Jarwo meyakinkan.

"Kang Somadnya sekarang di rumah Mas?".

"Ya di rumah, coba tanya sendiri kalau nggak percaya!".

Entah senang atau apa Iren mendengar kabar tentang keberadaan suaminya. Yang jelas dia hanya ingin Galih mempunyai sosok seorang ayah. Dia tidak ingin Galih berakhir hidup di jalanan, seperti kebanyakan anak anak yang tumbuh dari keluarga berantakan.

"Iya.. Saya lihat suamimu, tapi dia sendirian kok, nggak sama si sinden genit itu". Kata Kang Somad menjawab pertanyaan Iren setelah mereka bertemu.

"Terus kalau saya mau ketemu gimana caranya Kang?".

"Ya nggak tahu, saya cuma lihat di stasiun kok".

"Belum sempat ngobrol to?".

"Belum.. mau ngobrol gimana tahu tahu keretanya datang, ya saya langsung naik. Dia saja nggak sempat lihat saya".

Semakin mantap keinginan Iren untuk pergi ke Jakarta. Paling tidak untuk beberapa alasan selain mencari pekerjaan, yaitu bertemu suaminya. Untuk Galih. Untuk masa depan Galih.

***

Sudah sejak semalam Iren mengemasi barangnya yang hendak dibawa ke Jakarta. Tidak banyak memang, cuma beberapa pasang pakaian dan bekal ala kadarnya.

"Di Jakarta kamu mau tinggal sama siapa? Mau kerja apa? Jaman sekarang cari kerjaan susah lo, Mas Pri saja yang sarjana sampai sekarang masih nganggur". Lagi lagi Bude mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.

"Ya berdoa sambil berusaha Bude, mudah mudahan cepat dapat kerjaan".

"Nggak semudah yang kamu bayangkan, ada yang berhasil tapi banyak juga yang nggak berhasil".

"Tapi kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu berhasil apa nggak kan Bude?".

"Atau kamu mau cari suamimu?". Kata Bude lagi.

"Ya mudah mudahan bisa ketemu juga Bude, kasihan Galih".

Sungguh berat rasanya meninggalkan Galih, tapi dia harus, karena ini juga demi Galih. Bukankah di Jakarta Banyak uang? Bukankah disana banyak pekerjaan? Bukankah setelah sukses disana dia bisa memboyong Galih ikut dengannya? Memang Jakarta menyisakan mimpi bagi banyak orang seperti Iren.

"Ya sudah.. Kalau memang kamu sudah yakin ya nggak apa apa, Bude cuma bisa mendoakan mudah mudahan kamu bisa berhasil di Jakarta seperti Kang Somad".

"Iya Bude, terima kasih.. Saya titip Galih ya Bude..". Kata Iren kemudian.

Tiket sudah dibelikan Mas Jarwo, kereta ekonomi Purbaya jurusan Surabaya-Jakarta. Iren berencana turun di stasiun Jatinegara berharap bisa melihat suaminya disana seperti Kang Somad. Entahlah, ini baru pertama kalinya dia ke Jakarta dan tidak ada keluarga maupun sanak saudara yang dituju. Tapi niatnya sudah bulat.

***

"Galih.. Ini kamu dapat surat dari Ibumu". Terdengar suara Bude memanggil Galih.

Ini adalah surat pertama Iren semenjak kepergiannya setahun yang lalu. Selain itu dia hanya beberapa kali mengirim uang yang jumlahnya pun tidak seberapa. Kebahagiaan Galih tak terbendung, matanya berkaca-kaca ketika membaca surat dari Ibunya. Surat dengan amplop berwarna pink.
______________________

-Buat Galih sayang:

Nak.. Bagaimana kabarmu? Mudah mudahan baik baik saja ya.. Maaf Ibu belum bisa pulang. Dibantu doanya ya nak supaya Ibu dapat rejeki, terus bisa pulang dan beli baju baru buat Galih. Oh iya, nanti Ibu belikan kelereng juga ya.. Masih suka main kelerang di depan rumah kan? Hehe.. Bagaimana juga kabar teman-temanmu? Andi, Gion, Joko, Krimbil..

Nak.. Ternyata berjuang itu tidak mudah, kadang kita harus berkali kali jatuh. Tapi itulah perjuangan, karena disaat kita jatuh itulah kita harus bersyukur karena Allah sedang memberi peringatan agar kita terus dekat denganNya. Shalatnya dijaga ya nak, mudah mudahan dengan itu Allah selalu memberi kemudahan.

Sekali lagi Ibu minta maaf karena belum bisa membahagiakan Galih, tapi sebaliknya Galih selalu bisa membuat Ibu bahagia. Karena satu-satunya hal yang bisa membuat Ibu bahagia saat ini adalah ketika mengingat bahwa Ibu mempunyai anak bernama Galih. Ibu sayang sama Galih, Ibu kangen. Kadang Ibu nangis lo kalau ingat Galih. Nggak apa-apa kan?

Sudah dulu ya nak.. Nggak perlu mikirin Ibu. Ibumu disini baik baik saja. Galih yang yang rajin belajarnya. Sekali lagi jangan lupa dijaga shalat lima waktunya..

-Dari Ibu yang selalu sayang sama Galih.
______________________

***

Suara bising ribut kereta api berlalu lalang. Ratusan manusia berjubel menunggu antrian. Jatinegara, demikian tulisan yang ada di atas pintu masuk stasiun. Sementara itu, di pinggir rel tidak jauh dari stasiun, seorang ibu tampak berjalan terseok satu-satu. Mencari sisa rongsokan dengan menenteng karung lusuh. Tubuhnya kurus. Ada cacar di mukanya.

Perempuan yang hidup dari sisa. Sisa makan, minum, dan kadang sisa dosa dari botol bir para berandal yang kemudian diambilnya untuk dijual. Perempuan yang seolah seluruh hidupnya telah dilalui dengan perjuangan. Untuk dirinya, atau mungkin juga untuk orang yang dicintainya. Iren nama permpuan itu.

Do'a - Do'a di Punggung Hujan

Matamu nyalang pada yang mati di punggung hujan
Mengeja nafas kita yang terkubur satu-satu

"Ini dulu milik kita." Katamu. Sembari menatap kapal-kapal yang labuhkan ribuan jalang

Lalu kau bercerita pada anak cucu
Tentang dadamu yang tertimbun peluru
Tentang doa-doa di punggung hujan