Rabu, 25 Januari 2012

Markas Perampok

Dusun Ngeblak markas perampok. Dari perampok sapi sampai sandal jepit, dari yang bocah sampai aki-aki bau tanah. Pria, wanita, yang banci juga ada. Semuanya perampok. Bukan warga Dusun Ngeblak kalau bukan perampok, dan bukan perampok sejati kalau tidak tinggal di Dusun Ngeblak. Yang merampok tiga kali sehari seperti jadwal makan nasi, yang merampok sekedar menyalurkan hobi. Konon kabarnya memang turunan dari nenek moyang, sejak jaman penjajah Belanda dan Jepang.

Kepala desa bernama Ki Suro Buntung. Kepala perampok nomer wahid yang paling ulung. Kumis tebal, rambut keriting, kulit hitam, dan mata sedikit juling. Ada yang bilang orang ini lahir saat Ibunya merampok sapi. Dan umur enam tahun sudah diajari merampok oleh Bapaknya. Dia lah sang maestro. Pilih tanding, linuwih, dan mempunyai jam terbang tertinggi dalam merampok.

Tidak ada surau atau masjid di Dusun Ngeblak, cuma sebuah rumah kosong yang digunakan untuk minum arak, judi, dan mengumpulkan hasil rampokan. Rumah itu dulu milik Pak Kastro yang diusir keluar kampung karena bukan perampok. Sempat pula Pak Kastro melawan dengan menghunus pisau dapur, tapi apa daya akhirnya lari tunggang langgang karena dikejar dengan linggis dan parang.

Setiap orang luar yang melewati jalan Dusun Ngeblak harus melalui pos penjagaan yang dijaga para perampok. Setelah diketahui dia bukan perampok, maka pasti akan dirampok, tak perduli ningrat atau pejabat. Dengan kata lain hanya perampok lah yang bisa melewati jalan Dusun Ngeblak.

***

Warga Dusun Ngeblak berkumpul. Kepala desa Ki Suro Buntung naik podium.

"Ehm ehmm.." Berdehem sejenak Ki Suro Buntung sembari memelintir kumis.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua warga Dusun Ngeblak yang saya banggakan.." Lanjutnya dengan suara menggelegar penuh wibawa ditengah-tengah warganya.

"Ehm ehmm.." Kembali berdehem Ki Suro Buntung.

"Begini bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati.." Warga dengan seksama menyimak pidato Ki Suro Buntung.

"Bapak-bapak, ibu-ibu.. Ehm ehm.." Tampak Ki Suro Buntung sedikit gugup kali ini. Warga mulai kasak-kusuk di belakang.

"Ehm.. Begini.. Saya Ki Suro Buntung.." Lagi-lagi berhenti pidato Suro Buntung.

"Saya Ki Suro Buntung.." Lanjutnya lagi, dan warga pun mulai penasaran dengan apa yang akan dikatakan Ki Suro Buntung.

"Saya sudah melanglang buana di dunia perampokan, dan dengan ini saya menyatakan berhenti menjadi perampok." Kata Ki Suro Buntung akhirnya. Entah ada angin apa, mendadak saja Ki Suro Buntung ingin berhenti dari jagat perampokan yang telah membesarkan namanya.

Hening.. Warga saling pandang satu sama lain. Kemudian gaduh.

"Apa maksudnya Ki? Kamu akan meninggalkan peninggalan tradisi mbah-mbah kita?" Kata salah seorang warga yang juga termasuk jajaran ketua gembong perampok.

"Jadi kamu ingin mengikuti jejak Pak Kastro yang sudah diusir dari dusun?" Katanya lagi dengan nada tinggi. Ki Suro Buntung yang tadinya disegani para warga kini berbalik menjadi musuh di hadapan warganya.

Si Jalu, anak kandung Ki Suro Buntung yang berada di dekat podium tiba-tiba menghunus parang, kemudian maju ke depan hendak dibabat pula ayahnya. Untung saja beberapa orang mencegah. "Kita bicarakan dulu baik-baik.." Kata sebagian dari mereka berusaha meredam emosi Si Jalu dan warga lain.

***

Warga dikejutkan suara azan di siang bolong dari arah pinggiran Dusun Ngeblak. Kemudian ramai-ramai orang berkumpul membawa linggis dan parang. Dipimpin Si Jalu mereka datangi arah suara.

"Dia telah menginjak-injak harga diri kita." Kata Si Jalu mengobarkan semangat para warga.

"Betuul.. Betuul..!!" Disambut teriakan perampok-perampok warga Dusun Ngeblak.

Betul saja dugaan mereka, suara azan berasal dari Ki Suro Buntung di pinggiran Dusun Ngeblak. Lalu serempak pengepungan terjadi pada Ki Suro Buntung yang baru saja selesai melaksanakan solat.

"Kamu telah menodai sejarah leluhur kita." Kata Si Jalu sembari acungkan parang pada Ki Suro Buntung, yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

Dengan bahu berselempang sarung tampak tenang Ki Suro Buntung. "Lalu apa mau kalian? Membunuhku?" Kata Ki Suro Buntung setengah menantang pada para warga Dusun Ngeblak.

"Bisa saja, kalau kamu tetap ingin menjadi perampok dan masih tetap tinggal di Dusun Ngeblak." Kata Si Jalu tampak emosi, berkata dengan nada tinggi mewakili warga-warga lainnya.

Pilihan yang sulit bagi Ki Suro Buntung. Entah benar atau tidak ancaman para warga, yang jelas hanya satu yang ada dalam benak Ki Suro Buntung, yaitu mempertahankan keyakinannya.

***

Sementara itu.. Beberapa waktu kemudian di sebuah dusun yang jauh dari Dusun Ngeblak..

"Alif, ba, ta, tsa.." Terdengar riuh rendah suara bocah-bocah dari sebuah masjid.

Dan di beranda rumah bambu samping masjid seorang kakek tampak sedang bercerita pada cucunya.

"Dusun ini dulu cuma hutan nak.." Kata si kakek

"Lalu..?

"Seseorang telah membukanya menjadi sebuah perkampungan." Lanjut si kakek, diiringi anggukan si cucu.

"Dan kamu lihat masjid itu nak?"

"Iya kek, lalu?"

"Masjid itu dulu hanya surau kecil. Dari situ lah orang yang membuka dusun ini pertama kalinya dulu memulai dakwah, hingga akhirnya agama yang dia bawa menyebar. Bahkan warga-warga yang menentang di dusun asalnya dulu pun menjadi pengikutnya."

"Siapa dia kek..?"

"Namanya diabadikan menjadi nama masjid itu. Masjid Ki Suro Buntung."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar