Jumat, 02 Desember 2011

MENUNGGU MATI

 Gambar diambil dari sini

Aku akan bercerita. Tak menarik dan lazim yang akan kuceritakan. Membosankan, monoton, atau entah komentar apalagi yang bisa kau berikan sebagai ahli cerita sepertimu. Tapi ini cuma cerita, tak perlu sekolah sastra untuk bercerita. Anak kecil pun biasa bercerita bermacam hal, petani sampai berbuih mulut menceritakan cara bercocok tanam, pandai bukan kepalang cerita nelayan tentang sauh dan kapal. 

Ini bukan cerita tentang cinta atau semacamnya, karena hingga kini sudah hampir berkalang tanah pun aku masih sendiri. Ini tentangku, pengemis tua yang berharap untuk segera mati

Rumahku trotoar simpang jalan, beratap terik matahari dan sinis malam, dindingnya angkuh keras kehidupan. Tapi tak perlu kau cabik aku dengan matamu yang memandang iba, karena aku sudah cukup tersiksa dengan sebuah harapan dan mimipi, berharap untuk segera mati.


Kau bisa membayangkan sosok seorang pengemis tua bukan? Pikirkan dulu sejenak..! Tepat. Seperti itulah aku. Baju kusut, kulit keriput, mata ciut, bau kecut, tampang semrawut. Hmm.. Senang rasanya kau bisa tersenyum sejenak mendengar ceritaku, karena aku tak bisa lagi tersenyum. Telah kupotong urat senyum, tawa, dan senang. Yang tersisa hanya harap, berharap untuk segera mati.

Sudah tertulis delapan huruf sejak aku dilahirkan : P-E-N-G-E-M-I-S. Ya, itulah profesiku seumur hidup. Pengemis cilik, pengemis remaja, dan kini pengemis tua. Tak perlu protes pada Tuhan apalagi merutuk menyerapah menyumpah, biarlah itu menjadi urusan Tuhanku.

Aku disini sejak lumpuh 13 tahun silam, di trotoar simpang jalan ini. Kota telah ber-evolusi tapi tidak denganku. Di seberang jalan sana dulu tempat anak-anak bermain bola dan layang-layang, tapi kini telah disulap menjadi bangunan semi permanen. Ca.. Fe... Ya, cafe, begitu tulisan yang ada di salah satu bangunan berwarna kuning. Entah apa yang dilakukan orang di dalam sana hingga berlama-lama. Mungkin sama sepertiku, berharap untuk segera mati.

Ketika aku jatuh sakit, itulah saat-saat aku merasakan kebahagiaan. Sebentar lagi aku mati, pikirku. Tapi hari berlalu, minggu, bulan, bahkan tahun, tapi aku belum mati. Kuludahi muka seseorang yang memberiku beberapa uang receh hanya agar dia marah lalu membunuhku. Tapi dia hanya tersenyum diiringi sederetan kalimat yang mendekati benar, "Dasar orang tua gila".

Satu-satunya hiburan bagiku adalah radio usang. Itupun akan kumatikan dengan segera karena muak setiap mendengar penceramah dengan kutipan ayat-ayat Tuhan. Yang mematok harga untuk setiap kutipan ayat Tuhannya, mencari dunia dengan agama. Manusia seribu topeng aku menyebutnya. Bukan memvonis atau menggurui, karena entah di neraka mana pengemis tua macam aku ini

***

Telah kusaksikan ratusan kematian di sini. Anak kecil yang beranjak remaja mati, pemuda dengan segudang cita-cita mati, ibu muda yang anaknya masih bergantung air susu padanya mati.

Kemarin ada lagi yang mati di simpang ini. Seorang pria muda terbujur kaku, tepat di depanku. Darahnya menggenangi pinggiran aspal lalu mengalir ke gorong-gorong. Mobil merah yang menabraknya pergi begitu saja. Dia menggelepar, mengejang. Nafasnya cepat dan dangkal. Matanya melotot ke arahku seolah memberitahu sakitnya sebuah kematian. 

Apakah itu membuatku ragu akan harapanku pada kematian? Bagaimana menurutmu? Apakah hidupku tidak lebih sakit daripada sebuah kematian?

Malamnya iblis mendatangiku menawarkan kematian. Tubuhnya besar dengan dua tanduk di kepala. Panjang taringnya menyentuh tanah. Anyir amis darah aroma yang keluar dari mulutnya. Dia menatapku. Tajam.

"Kau ingin mati?".

"Ya".

"Kau mau kuberi kematian?".

"Bagaimana caranya?".

"Datanglah padaku dengan dua buah belatimu, aku akan membantu tanganmu menghujamkannya ke perutmu".

"Itukah yang kau tawarkan?".

"Aku akan membantumu membunuh dirimu sendiri, kuberi kau sebuah keberanian".

"Tidak. Bukan kematian seperti itu yang kuinginkan".

Dia berjanji menemaniku kelak di alam baka jika aku melakukan kematian dengan caranya. Aku marah. Murka. Kuambil batu sebesar kepala lalu kulempar tepat mengenai dadanya. Dia terhuyung. Ambruk.

"Kematian seperti apa yang kau inginkan?". Tiba-tiba dia bangkit.

"Diam kau..!". Dengan sigap kuambil kedua buah belatiku lalu kuhujamkan ke mata dan lehernya. Darahnya muncrat, mengenai sebagian baju lusuhku. Dia terhuyung. Ambruk.

"Kau ingin membunuhku padahal kau yang menginginkan kematian?". Tapi seolah tak merasakan apa-apa, dia bangkit, lagi.

Secepat kilat kuambil sayap malaikat yang kusimpan di dalam bantalan sarungku, lalu kupasang di kedua bahu untuk terbang pergi menjauh darinya. Berharap mati sendiri oleh waktu.

***

Dan kini aku jatuh sakit seperti yang kau lihat. Wajahku pucat bukan? Kurasakan dingin sampai setiap inci tulang belulang. Debu jalanan tak bisa menghangtkanku. Pandanganku nanar. Mungkin..

Malam telah telah larut. Ujung jalan tak tampak tertutup kabut. Harapanku masih tergantung di balik awan yang tersenyum kecut. Aku masih berjalan lambat menunggu maut.

Di trotoar simpang jalan ini..

Aku masih menunggu sebuah rahasia Tuhan : Kematian.

1 komentar: