Jumat, 25 November 2011

John Sugiyanto

Gambar diambil dari sini


Aku merupakan bungsu dari tujuh bersaudara. Semua kakakku telah disembelih. Sebuah kematian dengan cara terhormat versi bangsa kami, konyol dan tragis menurutku. Aku sendiri selamat karena umur yang masih terlalu muda pada saat Pak Ahmad, pemilikku menggelar acara syukuran beberapa bulan yang lalu. Menjadikan kakak-kakakku sebagai hidangan utama. Sate ayam.

John Sugiyanto. Nama yang diberikan Pak Ahmad padaku. John, diambil dari nama petinju favoritnya, Chris John. Dan Sugiyanto diambil dari nama belakang anak bungsunya. Ayahku berasal dari keturunan ayam kampung, begitu pula Ibu. Dan menurut informasi yang kudapatkan dari sumber yang dapat dipercaya, mereka meninggal terkena flu burung, demikian manusia menyebutnya, sebuah penyakit aneh yang tiba-tiba menyerang.

"Kukuruyuuk..". Kukepakkan sayap lalu menepukkannya ke dada, berusaha mencari perhatian Putri. Dia hanya tersenyum. Manis sekali, semanis cairan yang diproduksi milyaran lebah dari seluruh muka bumi. Ya, Putri.
ayam betina dari keturunan ayam bangkok petarung yang dijodohkan Pak Ahmad denganku. Andaikan yang paling indah di dunia ini adalah rembulan, maka Putri lebih indah dari rembulan.

Aku tahu Putri mencintaiku. Mungkin karena buluku yang hitam mengkilat, mataku yang sedikit kecoklatan, kokokku yang keras dan lantang, atau mungkin karena ekorku yang panjang menjuntai. Entahlah, yang jelas Putri mencintaiku sebesar rasa cintaku padanya. Dan aku tahu pasti, lebih pasti dari matahari yang terbit dari timur esok pagi.

***

Sepasang belalang bercanda mesra di sela padi-padi. Angin yang bertiup perlahan bercumbu dengan layang-layang ikan, lalu tertawa riang bocah di pematang. "Hari yang indah..". Bisik camar pada dedaunan. Seindah hatiku, seindah hati Putri, seindah hati kami. 

Hari ini aku sangat senang. Pak Ahmad dibantu istrinya membuat kandang baru untuk kami. Terbuat dari bambu tua di pekarangan dengan cat warna pink, warna yang menandakan cinta. Cintaku dan Putri. Sementara itu, di atas meja di beranda tersedia dua cangkir kopi tubruk dan setoples emping melinjo made in Jogja, jamuan Pak Ahmad dan istrinya.

"Wah, lagi sibuk nih Pak Ahmad". Sapa Kang Somad yang tiba -tiba muncul. Dan tanpa basa-basi langsung mengutarakan maksudnya, yaitu membeli Putri untuk dikawinkan dengan ayam barunya, jenis ayam yang sama dengan putri, ayam bangkok petarung. Aku cemas. Khawatir. Tak dapat membayangkan seandainya Putri benar-benar dijual oleh Pak Ahmad.

"Maaf Pak, Putri tidak saya jual". Kata Pak Ahmad. Aku sangat senang mendengarnya. Lamunanku bersama Putri semakin menjadi-jadi, tentang masa depan rumah tangga kami, lengkap dengan ruang segi empat mungil yang sedang dibuat Pak Ahmad.

"Saya berani bayar mahal lo Pak, masa iya Putri dikawinkan sama ayam kampung, kan kasihan, kalau sama ayam saya kan cocok". Kata Kang Somad panjang lebar berargumentasi. 

Pak Ahmad berdehem sejenak. "Ya sudah begini saja, kalau ayam sampean bisa ngalahin John, sampean boleh ambil Putri". Kata Pak Ahmad akhirnya, seakan membuat sayembara tunggal setelah tak tahan dengan rayuan Kang Somad. Deg! Aku tak percaya mendengar apa yang dikatakan Pak Ahmad. Lamunanku bersama Putri tiba-tiba buyar. Kini aku harus bertarung untuk memperebutkan Putri.
   
***

Hari-hari yang tersisa sebelum pertarungan tiba kugunakan untuk latihan menghadapi musuh besarku nantinya. Berenang-renang di sungai kecil untuk menguatkan otot kedua bahu dan berlari-lari di halaman untuk melatih stamina. Kugerakkan kepala ke kiri dan kanan belajar menghindari serangan lawan.

Putri sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku pun diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa ketika di dekatnya. Aku tidak mau dia sedih karena takut kehilanganku. Aku takut dia tidak bisa lagi tersenyum ketika melihat gerakan-gerakan konyolku. Satu-satunya senyum yang bisa membuatku bahagia. Seperti tadi pagi, seolah mentari terbit hanya untuk melihat senyumnya. Seperti tadi malam, seolah rembulan bersinar terang ketika melihat senyumannya.

Hup hup hup.. Beberapa jurus dari Ayah yang kupelajari waktu kecil kupraktekkan. Jurus salto, tendangan kaki satu, lompatan serigala, belum lagi jurus patukan ajaib yang membuat musuh tak berdaya. Aku terus berlatih sekuat tenaga, tidak lain dan tidak bukan hanya demi Putri.

Tak diragukan lagi perasaan cintaku pada Putri. Seandainya aku bisa bernyanyi atau membuat puisi, mungkin akan kuberi judul 'Putri', atau mungkin 'Aku Dan Putri', atau mungkin 'Setangkai Bunga Untuk Putri'. Ya ya ya.. Atau mungkin judul yang sedikit lebih panjang seperti 'Putri, Kau Tidak Pernah Membuatku Berpikir Untuk Berpoligami'.

Ciiaaaaat..! Kali ini aku melatih jurus tendangan tanpa bayangan.

***

Hari pertarungan yang ditentukan pun tiba. Sedangkan Putri belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia sedang bermain di belakang rumah, di samping kandang baru berwarna pink milik kami. Aku berharap bisa menemuinya lagi nanti setelah memenangkan pertarungan. Lalu membina rumah tangga yang bahagia. Melahirkan keturunan ayam kampung dan ayam bangkok petarung.

Di depanku telah berdiri ayam kebanggan Kang Somad. Tubuhnya sedikit lebih besar dari tubuhku. Tampak jelas dia adalah petarung dengan bekas-bekas luka di wajah dan otot-otot di paha yang tampak menonjol. Tapi ketakutanku tiba-tiba hilang saat teringat perkataan almarhum ayah, "Setiap laki-laki berhak untuk menang, yaitu karena harga diri". Ya, dan aku mempunyai alasan lebih dari sekedar harga diri, yaitu karena Putri.

Kami saling berhadapan. Aku menatapnya, tak mau kalah dengan matanya yang tajam menatapku. Kami siap saling menyerang. Dia masih diam seolah menunggu. Tak mau kusia-siakan kesempatan yang ada begitu saja dengan terlebih dahulu melancarkan serangan. Aku melompat sekuat tenaga dengan kedua kaki siap mendarat di wajahnya. 

Brakk..!!

Tak kusangka serangan yang datang begitu cepat. Tendangannya tepat mengenai dadaku sebelum serangan yang kulancarkan lebih dulu mengenainya. Begitu keras dan telak. Aku ambruk hanya dalam sekali pukulan. Pak Ahmad tak percaya melihat apa yang terjadi, melihatku tak sanggup bahkan hanya untuk menggerakkan sayap. 

Terkapar.. Menggelepar.. Dan.. Mati..

Aku tak bisa mengingat apa-apa lagi. Aku hanya bisa mengingat bahwa aku pernah hidup dengan cinta, dan aku mati karena telah berkorban untuk cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar