Sudah sekitar satu jam
perempuan itu berkeliling hanya untuk mencari amplop berwarna pink.
Entahlah, mungkin dia sedang jatuh cinta, atau paling tidak orang yang
dituju dalam surat adalah orang yang dicintainya. Bukankah warna itu
menggambarkan cinta? Ah.. Mungkin disini tidak ada lagi yang memiliki
cinta, pikirnya. Atau mungkin cinta telah luntur terkena hujan pagi
tadi. Bahkan mungkin cinta telah bosan sehingga mati bunuh diri.
***
"Bu.. Bapak dimana sih, kok nggak pernah pulang?". Pertanyaan Galih membuat Iren terhenyak.
"Bapakmu merantau nak, berdoa saja mudah mudahan bisa cepat ketemu sama Bapak..". Jawabnya
"Merantau kemana?".
"Sudah.. Mudah mudahan Bapak cepat pulang ya nak?".
"Kapan Bu? Memang Bapak lupa sama Galih ya?". Tak terasa air mata
Iren menetes perlahan mendengar pertanyaan Galih untuk kesekian kalinya.
Pertanyaan yang membuatnya bingung mencari jawaban.
Iren punya mimpi, pergi dari kampung. Bukan hal besar memang, tapi
bukankah dari hal kecil sesuatu yang besar terwujud? Yah.. Setidaknya di
kota tidak ada yang tahu kalau suaminya selingkuh dengan sinden kampung
lalu pergi entah kemana. Setidaknya juga di kota dia bisa membelikan
Galih kelereng yang banyak, hal yang sulit dilakukannya di kampung. Dan
masih banyak lagi harapannya pada kota.
"Mudah mudahan Ibu bisa menyekolahkan kamu sampai SMA ya nak?".
Ucapnya kemudian. Tidak muluk muluk memang, karena menurutnya tidak
perlu gelar sarjana untuk menjadi seorang pejuang. Ya, berjuang untuk
bertahan hidup. Berjuang melawan sedikit ketertinggalan modernisasi.
Sudah lama sebenarnya Iren berkeinginan merantau ke Jakarta, tapi Bude, kakak perempuan dari Ayahnya selalu melarang.
"Disini saja nduk.. Toh belum tentu di Jakarta kamu bisa kerja,
memangnya disana kamu punya kenalan? Nggak to?". Itu saja yang selalu
dikatakan Bude, sosok pengganti seorang ibu baginya, sejak kedua orang
tuanya meninggal saat dia masih kecil. Tapi baginya hidup adalah
pilihan, dan hidup terlalu singkat untuk dilalui dengan pilihan yang
salah. Merantau ke Jakarta adalah pilihan yang tepat, pikirnya.
***
Angin bertiup perlahan dari pinggir kampung. Suara riak air sungai
kecil laksana kidung. Seekor belalang bercanda mesra dengan pucuk daun.
Hari yang cerah. Anak anak berlari kecil di pematang, mencari pemenang
adu layang layang.
"Alhamdulillah..". Ucap syukur Iren setelah mendapat upah Rp 7.500
dari menyiangi sawah kepala desa. Hasil yang tidak seberapa memang, tapi
hanya itu yang bisa dilakukannya selain mencari kayu bakar di hutan
atau membantu pekerjaan rumah salah seorang tetangga. Profesi mayoritas
penduduk dimana Iren tinggal memang bertani, maka tidak heran kalau Iren
sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut.
"Ren.. Kang Somad bilang suamimu di Jakarta, dia nggak sengaja
ketemu di stasiun Jatinegara". Seru Mas Jarwo, anak tertua Bude yang
tiba tiba muncul.
"Ah, yang benar Mas?". Tanya Iren ragu.
"Lo kalau nggak percaya tanya sendiri sama Kang Somad yang baru pulang dari Jakarta". Jawab Mas Jarwo meyakinkan.
"Kang Somadnya sekarang di rumah Mas?".
"Ya di rumah, coba tanya sendiri kalau nggak percaya!".
Entah senang atau apa Iren mendengar kabar tentang keberadaan
suaminya. Yang jelas dia hanya ingin Galih mempunyai sosok seorang ayah.
Dia tidak ingin Galih berakhir hidup di jalanan, seperti kebanyakan
anak anak yang tumbuh dari keluarga berantakan.
"Iya.. Saya lihat suamimu, tapi dia sendirian kok, nggak sama si
sinden genit itu". Kata Kang Somad menjawab pertanyaan Iren setelah
mereka bertemu.
"Terus kalau saya mau ketemu gimana caranya Kang?".
"Ya nggak tahu, saya cuma lihat di stasiun kok".
"Belum sempat ngobrol to?".
"Belum.. mau ngobrol gimana tahu tahu keretanya datang, ya saya langsung naik. Dia saja nggak sempat lihat saya".
Semakin mantap keinginan Iren untuk pergi ke Jakarta. Paling tidak
untuk beberapa alasan selain mencari pekerjaan, yaitu bertemu suaminya.
Untuk Galih. Untuk masa depan Galih.
***
Sudah sejak semalam Iren mengemasi barangnya yang hendak dibawa ke
Jakarta. Tidak banyak memang, cuma beberapa pasang pakaian dan bekal ala
kadarnya.
"Di Jakarta kamu mau tinggal sama siapa? Mau kerja apa? Jaman
sekarang cari kerjaan susah lo, Mas Pri saja yang sarjana sampai
sekarang masih nganggur". Lagi lagi Bude mencecarnya dengan pertanyaan
yang sama.
"Ya berdoa sambil berusaha Bude, mudah mudahan cepat dapat kerjaan".
"Nggak semudah yang kamu bayangkan, ada yang berhasil tapi banyak juga yang nggak berhasil".
"Tapi kalau nggak dicoba kan kita nggak tahu berhasil apa nggak kan Bude?".
"Atau kamu mau cari suamimu?". Kata Bude lagi.
"Ya mudah mudahan bisa ketemu juga Bude, kasihan Galih".
Sungguh berat rasanya meninggalkan Galih, tapi dia harus, karena ini
juga demi Galih. Bukankah di Jakarta Banyak uang? Bukankah disana
banyak pekerjaan? Bukankah setelah sukses disana dia bisa memboyong
Galih ikut dengannya? Memang Jakarta menyisakan mimpi bagi banyak orang
seperti Iren.
"Ya sudah.. Kalau memang kamu sudah yakin ya nggak apa apa, Bude
cuma bisa mendoakan mudah mudahan kamu bisa berhasil di Jakarta seperti
Kang Somad".
"Iya Bude, terima kasih.. Saya titip Galih ya Bude..". Kata Iren kemudian.
Tiket sudah dibelikan Mas Jarwo, kereta ekonomi Purbaya jurusan
Surabaya-Jakarta. Iren berencana turun di stasiun Jatinegara berharap
bisa melihat suaminya disana seperti Kang Somad. Entahlah, ini baru
pertama kalinya dia ke Jakarta dan tidak ada keluarga maupun sanak
saudara yang dituju. Tapi niatnya sudah bulat.
***
"Galih.. Ini kamu dapat surat dari Ibumu". Terdengar suara Bude memanggil Galih.
Ini adalah surat pertama Iren semenjak kepergiannya setahun yang
lalu. Selain itu dia hanya beberapa kali mengirim uang yang jumlahnya
pun tidak seberapa. Kebahagiaan Galih tak terbendung, matanya
berkaca-kaca ketika membaca surat dari Ibunya. Surat dengan amplop
berwarna pink.
______________________
-Buat Galih sayang:
Nak.. Bagaimana kabarmu? Mudah mudahan baik baik saja ya.. Maaf Ibu
belum bisa pulang. Dibantu doanya ya nak supaya Ibu dapat rejeki, terus
bisa pulang dan beli baju baru buat Galih. Oh iya, nanti Ibu belikan
kelereng juga ya.. Masih suka main kelerang di depan rumah kan? Hehe..
Bagaimana juga kabar teman-temanmu? Andi, Gion, Joko, Krimbil..
Nak.. Ternyata berjuang itu tidak mudah, kadang kita harus berkali
kali jatuh. Tapi itulah perjuangan, karena disaat kita jatuh itulah kita
harus bersyukur karena Allah sedang memberi peringatan agar kita terus
dekat denganNya. Shalatnya dijaga ya nak, mudah mudahan dengan itu Allah
selalu memberi kemudahan.
Sekali lagi Ibu minta maaf karena belum bisa membahagiakan Galih,
tapi sebaliknya Galih selalu bisa membuat Ibu bahagia. Karena
satu-satunya hal yang bisa membuat Ibu bahagia saat ini adalah ketika
mengingat bahwa Ibu mempunyai anak bernama Galih. Ibu sayang sama Galih,
Ibu kangen. Kadang Ibu nangis lo kalau ingat Galih. Nggak apa-apa kan?
Sudah dulu ya nak.. Nggak perlu mikirin Ibu. Ibumu disini baik baik
saja. Galih yang yang rajin belajarnya. Sekali lagi jangan lupa dijaga
shalat lima waktunya..
-Dari Ibu yang selalu sayang sama Galih.
______________________
***
Suara bising ribut kereta api berlalu lalang. Ratusan manusia
berjubel menunggu antrian. Jatinegara, demikian tulisan yang ada di atas
pintu masuk stasiun. Sementara itu, di pinggir rel tidak jauh dari
stasiun, seorang ibu tampak berjalan terseok satu-satu. Mencari sisa
rongsokan dengan menenteng karung lusuh. Tubuhnya kurus. Ada cacar di
mukanya.
Perempuan yang hidup dari sisa. Sisa makan, minum, dan kadang sisa
dosa dari botol bir para berandal yang kemudian diambilnya untuk dijual.
Perempuan yang seolah seluruh hidupnya telah dilalui dengan perjuangan.
Untuk dirinya, atau mungkin juga untuk orang yang dicintainya. Iren
nama permpuan itu.